Menurut gw... Mungkin memang seharusnya sudah waktunya pemerintah untuk menaikkan harga BBM yang sesuai update yang gw tonton hari ini di TV udah sekitar US $ 131 per barrelnya. Tapi rasanya timingnya gak tepat bangeeeet. Coba cross check aja deh di pasar harga2 udah naik selangit khususnya untuk barang-barang konsumsi. Beras, minyak goreng, dsd, dsb...
Apakah gak lebih baik kalo programnya SBY yang penghematan nasional benar2 dilaksanakan??? Melakukan collection Obligasi Rekap Bank2 dalam BPPN (sekarang PT. PPA atau Perusahaan Pengelolaan Aset, katanya mo dibubarin trus ganti nama lagi), gimana kalau uang yang 40 trilyun ada di SBI di gelontorkan ke perekonomian, rasanya pemerintah gak perlu susah2 menaikkan harga BBM. Bayangkan aja 40 trilyun cuma di parkir di SBI, gak ada manfaatnya. Rasanya jumlah sebesar itu bermanfaat banget kalau bisa untuk bangun sekolah2 yang mau roboh, atau untuk kebutuhan gizi balita yang nyaris meninggal karena gak jalannya program posyandu pasca keruntuhan orba, pembangunan puskesmas di pelosok2 negeri, membangun infrastruktur jalan, listrik sampai ke pedalaman, aneh aja rasanya saat dengan gampangnya sebagian orang maksudnya pejabat minta tunjangan jabatan sampai senilai 20juta per orang perbulannya di luar tunjangan yang lain2 rakyat yang harus merasakan penderitaan gak punya tunjangan "kemiskinan", padahal sadar atau gak setiap anggota parlemen atau wakil rakyat bisa dapat pengurang pajak atau insentif sejenis ini.
Sedangkan untuk memberikan "Tax Holiday" untuk beberapa industri yang padat karya, padat modal, dan menguasai hajat hidup orang banyak aja pemerintah masih mikir ribuan kali. Apakah ini yang namanya adil untuk rakyat miskin????
Kayaknya kalo cuma dengan menaikkan harga BBM, kita gak perlu seorang presiden yang lulus S3 dari IPB dalam bidang Ekonomi rakyat. Kalau ternyata selama pemerintahannya yang belum 5 tahun aja terhitung sudah hampir 3 kali menaikkan harga BBM. Waktu recovery perekonomian pasca kenaikan BBM tahun 2005 dan 2006 aja butuh waktu setahun. Apalagi kalau ternyata sekarang harus dinaikkan lagi. Tanda-tanda stagnasi (gw agak kurang suka nyebut Perlambatan Ekonomi) ekonomi sudah di depan mata. Gak menutup kemungkinan kalo ternyata tahun ini kita bisa inflasi sampai 2 digits. Memang selain karena krisis Subprime Morgage di US, Krisis Energi dan Pangan semakin memperburuk keadaan. Tapi yang dilakukan pemetintah adalah NOTHING... Lihat saja berapa banyak rakyat yang tidak bisa mengakses kebutuhan dasar untuk hidup, misalnya makan, pendidikan dan kesehatan. Gak fair apa yang terjadi!!!
Soal BLT... Menurut gw mungkin pemerintah mengadopsi sistem di Belanda atau Jerman. Dimana orang miskin dapat subsidi sejenis BLT di Indonesia. Tapi apa yang terjadi??? Masalahnya di dua negara tadi orang2nya malu kalau dikelompokkan sebagai rakyat miskin. So subsidi tersebut hanya 2-3% yang cair dari keseluruhan yang dianggarkan oleh pemerintah. Sehingga dana yang tidak cair itu menjadi dana abadi, trus digunakan untuk memberdayakan masyarakat miskin. Kenyataannya berbanding terbalik dengan Indonesia. Dimana semua orang yang "gak miskin" juga minta jatah, dan minta diakui sebagai rakyat miskin. Masalahnya bukan hanya sampai di situ, penyalurannya kepada RTS (rumah tangga sasaran) ternyata tidak tepat sasaran. Yang benar2 miskin malah gak kebagian. Seperti beberapa hari lalu ada keluarga di Timor Tengah Utara punya anak 6 dan bapaknya bekerja hanya mengembalakan kuda, tau apa yang dimakan keluarga itu????? Hanya biji jagung kering dan bunga tebu di masak seperti sayur bening!!!! BLT boleh... Tapi bukan untuk mengajarkan masyarakat miskin menjadi peminta-minta seperti apa yang terjadi saat ini. Pengambilan BLT tahun 2005 membuktikan bahwa BLT menelan korban jiwa!!! Harusnya dengan keadaan ini pemerintah bisa membuka mata dan hatinya. Menurut gw mungkin lebih bagus untuk kondisi Indonesia penyalurannya mengadaptasi sistem yang digunakan oleh beberapa NGO seperti Dompet Dhuafa dengan LKC, atau PKPU. Rasanya lebih cocok dan tepat sasaran. Pengawasannya melibatkan banyak pihak khususnya masyarakat kampus, professional dan orang2 yang peduli pada masalah ini.
Di balik segala kontroversinya seharusnya semua kita termasuk gw seharusnya berkaca apakah yang dapat saya lakukan untuk memberdayakan masyarakat yang tidak semuanya seberuntung kita bisa menikmati kemajuan teknologi, menjadi 4% dari keseluruhan masyarakat Indonesia yang bisa menempuh pendidikan tinggi sampai S2 bahkan mungkin sebagian teman2 S3. Membangun masyarakat madani dengan kemandirian yang tinggi, inovatif, perpendidikan, kreatif.
Mungkin inilah teman2 tugas kita setelah selama ini kita menjadi orang yang beruntung bisa menikmati bangku kuliah dari Universitas sekelas UI dan lainnya, yang mungkin bagi sebagian teman2 kita di luar sana hanya berupa mimpi yang hanya akan terus jadi mimpi karena terkendala oleh segala keterbatasannya.
Thanks for inspiring me to:
Yang dikutip dari tulisan Mr. Gayuh di Millis angkatan MM-FEUI 063:
"Dampak kompensasi ke karyawan ga akan bpengaruh secara signifikan, gaji ga mungkin turun, paling bonus & natura (kenikmatan non-kas) yg dikurangi. Dampak plng bsr sbnrnya di tingkat korporat/bisnis. Biaya produksi naik. Sementara harga jual ga bisa sembarang naik krn daya beli menurun. Kita udh kebal sama yg ky beginian, jangankan bbm naik, ada bom aja udh kebal.
Apakah gak lebih baik kalo programnya SBY yang penghematan nasional benar2 dilaksanakan??? Melakukan collection Obligasi Rekap Bank2 dalam BPPN (sekarang PT. PPA atau Perusahaan Pengelolaan Aset, katanya mo dibubarin trus ganti nama lagi), gimana kalau uang yang 40 trilyun ada di SBI di gelontorkan ke perekonomian, rasanya pemerintah gak perlu susah2 menaikkan harga BBM. Bayangkan aja 40 trilyun cuma di parkir di SBI, gak ada manfaatnya. Rasanya jumlah sebesar itu bermanfaat banget kalau bisa untuk bangun sekolah2 yang mau roboh, atau untuk kebutuhan gizi balita yang nyaris meninggal karena gak jalannya program posyandu pasca keruntuhan orba, pembangunan puskesmas di pelosok2 negeri, membangun infrastruktur jalan, listrik sampai ke pedalaman, aneh aja rasanya saat dengan gampangnya sebagian orang maksudnya pejabat minta tunjangan jabatan sampai senilai 20juta per orang perbulannya di luar tunjangan yang lain2 rakyat yang harus merasakan penderitaan gak punya tunjangan "kemiskinan", padahal sadar atau gak setiap anggota parlemen atau wakil rakyat bisa dapat pengurang pajak atau insentif sejenis ini.
Sedangkan untuk memberikan "Tax Holiday" untuk beberapa industri yang padat karya, padat modal, dan menguasai hajat hidup orang banyak aja pemerintah masih mikir ribuan kali. Apakah ini yang namanya adil untuk rakyat miskin????
Kayaknya kalo cuma dengan menaikkan harga BBM, kita gak perlu seorang presiden yang lulus S3 dari IPB dalam bidang Ekonomi rakyat. Kalau ternyata selama pemerintahannya yang belum 5 tahun aja terhitung sudah hampir 3 kali menaikkan harga BBM. Waktu recovery perekonomian pasca kenaikan BBM tahun 2005 dan 2006 aja butuh waktu setahun. Apalagi kalau ternyata sekarang harus dinaikkan lagi. Tanda-tanda stagnasi (gw agak kurang suka nyebut Perlambatan Ekonomi) ekonomi sudah di depan mata. Gak menutup kemungkinan kalo ternyata tahun ini kita bisa inflasi sampai 2 digits. Memang selain karena krisis Subprime Morgage di US, Krisis Energi dan Pangan semakin memperburuk keadaan. Tapi yang dilakukan pemetintah adalah NOTHING... Lihat saja berapa banyak rakyat yang tidak bisa mengakses kebutuhan dasar untuk hidup, misalnya makan, pendidikan dan kesehatan. Gak fair apa yang terjadi!!!
Soal BLT... Menurut gw mungkin pemerintah mengadopsi sistem di Belanda atau Jerman. Dimana orang miskin dapat subsidi sejenis BLT di Indonesia. Tapi apa yang terjadi??? Masalahnya di dua negara tadi orang2nya malu kalau dikelompokkan sebagai rakyat miskin. So subsidi tersebut hanya 2-3% yang cair dari keseluruhan yang dianggarkan oleh pemerintah. Sehingga dana yang tidak cair itu menjadi dana abadi, trus digunakan untuk memberdayakan masyarakat miskin. Kenyataannya berbanding terbalik dengan Indonesia. Dimana semua orang yang "gak miskin" juga minta jatah, dan minta diakui sebagai rakyat miskin. Masalahnya bukan hanya sampai di situ, penyalurannya kepada RTS (rumah tangga sasaran) ternyata tidak tepat sasaran. Yang benar2 miskin malah gak kebagian. Seperti beberapa hari lalu ada keluarga di Timor Tengah Utara punya anak 6 dan bapaknya bekerja hanya mengembalakan kuda, tau apa yang dimakan keluarga itu????? Hanya biji jagung kering dan bunga tebu di masak seperti sayur bening!!!! BLT boleh... Tapi bukan untuk mengajarkan masyarakat miskin menjadi peminta-minta seperti apa yang terjadi saat ini. Pengambilan BLT tahun 2005 membuktikan bahwa BLT menelan korban jiwa!!! Harusnya dengan keadaan ini pemerintah bisa membuka mata dan hatinya. Menurut gw mungkin lebih bagus untuk kondisi Indonesia penyalurannya mengadaptasi sistem yang digunakan oleh beberapa NGO seperti Dompet Dhuafa dengan LKC, atau PKPU. Rasanya lebih cocok dan tepat sasaran. Pengawasannya melibatkan banyak pihak khususnya masyarakat kampus, professional dan orang2 yang peduli pada masalah ini.
Di balik segala kontroversinya seharusnya semua kita termasuk gw seharusnya berkaca apakah yang dapat saya lakukan untuk memberdayakan masyarakat yang tidak semuanya seberuntung kita bisa menikmati kemajuan teknologi, menjadi 4% dari keseluruhan masyarakat Indonesia yang bisa menempuh pendidikan tinggi sampai S2 bahkan mungkin sebagian teman2 S3. Membangun masyarakat madani dengan kemandirian yang tinggi, inovatif, perpendidikan, kreatif.
Mungkin inilah teman2 tugas kita setelah selama ini kita menjadi orang yang beruntung bisa menikmati bangku kuliah dari Universitas sekelas UI dan lainnya, yang mungkin bagi sebagian teman2 kita di luar sana hanya berupa mimpi yang hanya akan terus jadi mimpi karena terkendala oleh segala keterbatasannya.
Thanks for inspiring me to:
- Mr Junino Jahja (Former Deputy of KPK, present CEO Perum PERURI),
- Mr. Edgar Ekaputra (CEO PT. Danareksa),
- Mr. Y. A. Didik Cahyanto (Former CEO PT. Recapital Asset Management, present CEO PT. Bumi Sumbawa Mas)
- Mr. Rahmadita Gayuh Dirgantoro (my classmate KP063-MM FEUI)
Yang dikutip dari tulisan Mr. Gayuh di Millis angkatan MM-FEUI 063:
"Dampak kompensasi ke karyawan ga akan bpengaruh secara signifikan, gaji ga mungkin turun, paling bonus & natura (kenikmatan non-kas) yg dikurangi. Dampak plng bsr sbnrnya di tingkat korporat/bisnis. Biaya produksi naik. Sementara harga jual ga bisa sembarang naik krn daya beli menurun. Kita udh kebal sama yg ky beginian, jangankan bbm naik, ada bom aja udh kebal.
Dampaknya bwt korporat/bisnis:
biaya produksi naik,
harga jual cenderung tetap,
= profit margin (untung) berkurang
Pengurangan karyawan sptnya enggan ditempuh krn stlh ada UU No.13/2003 ttg ketenagakerjaan di mana setiap karyawan, imbalan kerjanya sampai dia berakhir masa kerjanya dgn jatuh tempo biasanya 5-20 tahun tlh (hrs) dicadangkan pemberi kerja. Jadi skrng ga bs sembarangan main pecat, very high cost. Mecat akn sgt mpengaruhi cashflow krn sebagian bsr imbalan kerja hrs dibayar. Sepertinya korporat msh bs menyesuaikan selama kenaikannya bertahap, asal jgn spt kenaikan sblmnya. Menyesuaikannya dgn efisiensi & pdekatannya kreatif lain ke strategi bisnis & marketing. Ini ilmunya anak2 A063 konsen marketing & umum ni yg jago strategi marketing... :p
Asumsi: karyawan yg dimaksud adlh yg high performed. Klo yg low-performed y perush akn gunakan kenaikan bbm ini sbg 'momentum negatif yg tepat' bwt ngeluarin karyawan yg ga ada value added-nya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar