Tampilkan postingan dengan label Akuntansi dan Keuangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Akuntansi dan Keuangan. Tampilkan semua postingan

Senin, 26 Mei 2008

The Big Mac Index


Mungkin agak sedikit mengherankan kenapa harus digunakan Big Mac. Alasannya adalah karena ketersediaan Big Mac di seluruh dunia. Big Mac sendiri merupakan suatu standar yang digunakan dalam melakukan penghitungan PPP.


Seperti pada posting blog sebelumnya sudah dibahas mengenai Teori PPP. Kesimpulannya adalah bahwa PPP mengasumsikan besarnya cost living adalah sama di semua Negara. Karena nominal exchange rate seharusnya sama dengan rasio dari harga dan real exchange rate, yang nilainya seharusnya sama dengan 1 atau 100%. Sebagai konsekuensinya, maka bila suatu Negara mengalami tingkat inflasi yang tinggi maka seharusnya mata uangnya terdepresiasi. Dalam jangka panjang, teorinya PPP akan lebih valid, namun dalam jangka pendek tingkat validitasnya akan jadi lebih terbatas.


The Big Mac Index diperkenalkan pertama kali oleh majalah The Economist. The Big Mac Index atau The Hamburger Standard adalah bentuk popular dari teori PPP. PPP menggagas bahwa harus dibandingkan dengan komoditas yang identik (apple to apple comparative) yang harus dijual pada tingkat harga yang sama dimanapun komoditas tersebut berada. The Economist kemudian menggunakan rasio dari harga domestic Big Mac di Negara yang berbeda untuk melakukan estimasi nilai tukar dari PPP.


Sebagai gambarannya adalah:

Jika Big Mac dihargai sebesar US $ 1 di US, sedangkan di Australia dijual seharga AUS$ 3, implikasinya adalah Big Mac exchange ratenya adalah sebesar AUS$ 3 : US$ 1. Jika actual exchange ratenya adalah AUS$ 2 : US$ 1, kemudian dapat diartikan bahwa AUS$ dinilai overvalued. Artinya bahwa Big Mac yang dijual di Australia lebih mahal daripada Big Mac yang di jual di US.


Tapi untuk kasus di Indonesia agak spesifik Big Mac price yang digunakan adalah hanya ada di dua tempat yaitu Big Mac yang dijual di Mc Donalds Airport Soekarno-Hatta, dan Mc Donalds Bali. Sebab hanya ditempat-tempat tesebut digunakan International Selling Price oleh Mc Donalds Indonesia. Sedangkan outlet-outlet penjualan Mc Donalds lainnya di Indonesia menjual seluruh produknya dengan harga subsidi.


Berikut ini adalah The Hamburger Standard, yang menunjukkan actual exchange rate dan The Big Mac PPP exchange rates pada January 2003, dan implikasinya terhadap over atau undervaluation matauangnya.


Dicuplik dari The Economist, 16 Januari 2003


The Hamburger Standard

On January 15, 2003

Country

Big Mac Price in local Currency

In U.S. $

Actual Exchange Rate

1 USD =

Over (+) or Under (-) Valuation against the Dollar, %

Purchasing Power Price

U.S.

$ 2.65

2.65

$1.00

Australia

A$ 3.20

2.46

$1.30

-12.16

1.14

Indonesia

Rp 16,155

1.92

$8,414.06

-27.64

6,096

Malaysia

M$ 5.10

1.34

$3.81

-49.58

1.92

China

Yuan 9.95

1.20

$8.29

-54.75

3.75

Sweden

Skr 30.0

4.13

$7.26

55.84

11.32

Switzerland

SFr 6.35

5.11

$1.24

93.08

2.4


Bila kita menggunakan Big Mac rates sebagai acuan untuk mengukur PPP, maka matauang Australia, Indonesia, Malaysia, dan China memiliki kecenderungan untuk mengalami undervalued. Sedangkan untuk Swedish Krona, dan Swiss Franc memiliki kecenderungan untuk overvalued. Dari gambaran ini ditemukan bahwa PPP dari dua mata uang tersebut akan kecil kemungkinannya terdepresiasi.


Selain itu, dari kekurangan teori ini seperti dijelaskan di atas, The Big Mac Index juga mempunyai masalah lain yang dapat menyebabkan kesalahan besar dalam penghitungan PPP. Pertama, Big Mac harusnya menganut “law of one price” daripada konsep yang dikemukakan oleh PPP. Kedua, Big Mac mungkin sama namanya, akan tetapi mereka berbeda karena tidak dapat diperdagangkan, Big Mac yang dijual di London adalah komoditas yang berbeda dengan Big Mac yang diimpor dari China. Ketiga, Big Mac tidak identik produknya. Misalnya Big Mac yang dijual di Jepang merefleskikan dari harga sewa dari retail outletnya di Tokyo ditambah dengan berbagai biaya-biaya seperti biaya tenaga kerja local dan pajak tak langsung yang dikenakan. Hal ini juga membuat Big Mac yang dijual di Manila berbeda dengan di Tokyo. Untuk beberapa alasan ini, maka kemudian harga Big Mac di Rusia mungkin akan selalu lebih murah daripada yang dijual di Copenhagen walaupun harus tanpa adanya dampak dari nilai tukar ruble-krona.

Purchasing Power Parity

Kali ini gw mau ngeblog sesuatu yang agak ditulis secara serius… Tapi semoga saja mudah dimengerti karena ada sedikit contoh dengan perhitungannya. Tapi karena gw bikin dalam equation koq muncul...


Teori mengenai Purchasing Power Parity (PPP) atau Paritas Daya Beli sebenarnya adalah suatu teori yang menyatakan bahwa nilai dari suatu valuta tergantung pada daya beli dari valuta yang bersangkutan. Jika $1 mampu membeli jumlah produk dan jasa yang sama dengan lima unit valuta asing, kita memiliki kurs lima unit valuta asing per dollarnya atau sama dengan 1/5 atau senilai 20 sen dollar per satu unit valuta asing (US $ 0.2/foreign currency). Cara membandingkan indeks harga dengan PPP mengasumsikan bahwa sangat dimungkinkan untuk mendapatkan barang-barang yang sebanding di Negara-negara yang berbeda.


Di sisi praktisnya, PPP secara umum diestimasikan melalui perubahan dari daya beli atas dua valuta dalam kaitannya dengan daya beli pada suatu periode dasar pada saat kurs secara teoritis berada dalam kondisi equilibrium. Dalam bentuk formalnya, PPP dapat diformulasikan sebagai berikut:

Dimana;

X1 = Jumlah unit valuta asing per dollar pada saat ini

X1 = Jumlah unit valuta asing per dollar satu periode kemudian

E0 = 1/ X0 = Jumlah dollar per satu unit valuta asing sekarang

E1 = 1/X1 = Jumlah dollar per satu unit valuta asing satu periode kemudian

CX = X1/ X0 = perubahan dalam nilai tukar

Pt0 = level harga awal di Negara asing

Pt1 = level harga di Negara asing satu periode kemudian

Pd0 = level harga awal di dalam negeri

Pd1 = level harga dalam negeri satu periode kemudian

RPC =

= perubahan harga relative

= rasio laju inflasi

Dengan contoh perhitungan berikut, akan menggambarkan implikasi-implikasi dari doktrin PPP.


Misalnya:

Dalam suatu periode tertentu, level harga di luar negeri naik 32%, sementara level harga domestic naik 20%. Jika kurs awal adalah 10 unit MM (valuta asing dimisalkan namanya notasi adalah MM) per US$ 1, maka kurs barunya diperkirakan sebesar:


Artinya: Kini akan dibutuhkan 10% lebih banyak mata uang MM untuk mendapatkan US$ 1, karena laju inflasi relative di Negara asing yang bersangkutan lebih tinggi daripada laju inflasi di US.


Sebagai gambaran lainnya, misalnya dengan kurs 10 MM per US $, kita asumsikan bahwa indeks harga luar negeri telah naik 17%. Sementara indeks harga di US naik 30%. Maka kurs barunya akan diperkirakan sebesar:


Dalam kasus ini, maka Artinya kemudian adalah jumlah MM yang diperlukan untuk membeli US$ 1 akan turun sebesar 10%. Maka kemudian, nilai dari valuta asing MM telah naik sebesar 10% akibat terjadinya perubahan laju inflasi di antara kedua Negara.


Dari studi empiris yang pernah dilakukan, diindikasikan bahwa meskipun Teori PPP tidak selalu berlaku secara sempurna, namun teori ini cendrung berlaku dalam jangka waktu panjang.


Yang lebih mendasar, adalah bahwa doktrin dari teori PPP bisa meramalkan bahwa kurs equilibrium antara dua valuta akan mencerminkan kekuatan pasar dan bahwa penyimpangan acak dari kondisi equilibrium akan cenderung terjadinya koreksi dengan sendirinya. Ini menyiratkan keberadaan sejumlah kekuatan equilibrium yang kuat.


Selain itu, teori PPP menyatakan bahwa hubungan antar valuta tidak bersifat serampangan tetapi akan mencerminkan kondisi ekonomi yang mendasari serta perubahannya.


Hubungan antar valuta akan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah:


1. Perbedaan pendapatan atau pemasukan antara kedua Negara


2. Perbedaan kebijakan fiscal dan moneter antara kedua Negara


3. Pergerakan modal berskala besar yang didorong oleh perubahan dalam resiko politik relative atau perbedaan peluang ekonomi prospektif


4. Biaya transportasi


5. Kelambatan respon pasar


6. Perbedaan rasio harga produk internasional terhadap harga produk domestic antara kedua Negara


7. Dampak dari premium harga


8. Perbedaan laju pertumbuhan produktivitas


Sabtu, 24 Mei 2008

MnA in Banking Industry

Setelah kuliah Prof. Igor Walter (from Stern Business School – New York University) gw nulis summarynya di artikel blog ini…

Menarik banget… di kuliah ini dia banyak banget nyorotin masalah MnA di Banking Industry. Sebelum dan setelah tahun 2000. Trus menyoroti juga mengenai salah satu jualannya banking industry di US yang sekarang jadi masalah besar… Lagi2 apa kalau bukan si Subprime mortgage (kredit pembiayaan perumahan di US, sejenis KPR di Indonesia dengan bunga ringan, dan jangka waktu panjang), dengan metode2nya ;) ada ABS (Assets Backed Securities), MBS (Mortgage Backed Securities), etc... Gimana penanganan sebagian dari uncollectible subprime mortgage, yang akhirnya menyebabkan banyak raksasa2 banking industry di US harus menjual sebagian kepemilikan sahamnya dan uncollectiblenya kepada investor2 asing, yang kebanyakan dari Timur Tengah, dan Asia. Misalnya saja kepada Abu Dhabi Investment, Kuwait Investment, Korea Investment dan sang raksasa investasi dari negeri Singa… Namanya udah gak asing banget… Temasek Holdings, yang juga sempat memiliki kepemilikan ganda di Telkomsel dan Indosat pasca privatisasi di era Megawati. Tapi berdasarkan keputusan KPPU bahwa terjadi monopoli atas harga jasa telekomunikasi seluler yang dilakukan oleh dua perusahaan bersadara ini, maka kemudian Temasek Holdings harus melepas kepemilikannya di salah satu perusahaan ini. Kemudian terjadi penurunan tariff komunikasi seluler per 1 April 2008, yang sekarang sudah bisa kita nikmati. Walaupun sampai hari dan detik ini juga belum diputuskan oleh Temasek kepemilikan di perusahaan mana yang akan dilepaskan. Konon menurut beberapa nasum (narasumber) Temasek lebih rela untuk melepaskan kepemilikannya di Telkomsel dibandingkan dengan Indonesia, karena scope bisnis Indosat lebih luas daripada Telkomsel yang hanya bergerak mayoritas pada industry seluler walaupun dengan pangsa pasar yang relative sangat besar di Indonesia sejumlah 30juta pelanggan (net). Menarik banget issue ini. Trus juga fenomena kenapa sebelum tahun 2000 itu yang banyak melakukan MnA adalah banking industry dari kawasan European Union, sedangkan pasca 2000 yang melakukannya adalah banking industry dari Asia Timur, yaitu Korea dan Jepang. Ternyata tujuannya gak lain gak bukan adalah karena market expansion. Costnya pasti juga jadi lebih murah. MnA juga gak sepenuhnya tepat, kalau tanpa perhitungan dan kalkulasi yang tepat. Misalnya ada beberapa Bank juga yang gagal setelah dilakukan MnA (sorry… lupa nama banknya).

Di kulum ini juga datang pak Rudyan Kopot, CEO dari Dipasena Group pertanyaan beliau adalah “How to manage our derivatives portfolio in MnA turbulence?” Jawaban Prof. Walter, derivative akan mengurangi berbagai resiko yang mungkin akan terjadi bila derivative itu tidak digunakan. Paling penting adalah foreign exchange or currency exposure, kalau transaksi para pihak dalam proses MnA itu melibatkan banyak pihak dengan kondisi currency yang volatile. Atau roller coaster economy.

Last but not least adalah pendapat gw bahwa yang namanya MnA gak selalu positif lho. Misalnya aja pada kasus privatisasi Indosat which is means bahwa dia juga mengalami proses MnA. Apa yang terjadi saat ini, dimana pemerintah membutuhkan keberadaan Indosat, ternyata mereka gak punya cukup uang untuk membeli kembali Indosat dari Temasek. Yang menjual hampir dengan harga 25 kali lipat dari waktu pemerintah menjualnya ke Temasek. Dengan alasan yang tidak dimengerti. Tapi rasanya siey ada para pembisik di sekitar Megawati (presiden saat itu), atau mungkin conspiracy theory apapun bentuknya. Gw gak tau…

Senin, 05 Mei 2008

Dividend Policies

Capital market seringkali menjadi tujuan perusahaan untuk mencari pendanaan yang dibutuhkan. Karena dana yang dihimpun dari public tersebut, seringkali terjadi benturan kepentingan antara manajemen dan investor. Yang sering kali menjadi pertanyaan bagi manajemen adalah “What should we have been done to maximize the value of shareholder investment?”

Bila yang harus dilakukan adalah memuaskan keinginan investor, akan terjadi benturan kepentingan antara apakah uang tersebut harus digunakan untuk melakukan pembayaran dividen atau untuk tujuan melakukan perluasan usaha dan tujuan lainnya yang berhubungan dengan kemajuan perusahaan di masa yang akan datang.

Mungkin beberapa teori berikut ini dapat digunakan untuk menjadi pertimbangan di dalam menentukan “Dividend Policies” atau “Dividend Payout Ratio” untuk mendapatkan Optimal dividend policies, adalah:

Ada tiga teori yang mendasari penentuan “Dividend Policies” misalnya:

1. Dividend Irrelevance Theory
Teori ini mengemukakan mengenai value additivity principles, yaitu dengan adanya dividend policies yang ditetapkan oleh manajemen tidak akan mengakibatkan penurunan harga saham perusahaan. Dengan alasan adalah karena investor dalam berinvestasi tidak hanya sekedar untuk mendapatkan dividend, akan tetapi juga untuk tujuan mendapatkan capital gain.

2. Bird in hand
Teori ini mengemukakan mengenai kepentingan investor yang lebih mementingkan untuk menerima dividend, daripada diterimanya capital gain. Jadi manajemen harus memaksimalisasikan capital gain nya agar supaya investor semakin bergairah untuk menanamkan investasinya pada saham-saham perusahaan.

3. Signaling and Client Segmentation
Teori ini mengemukakan mengenai perubahan dividen policy merupakan sinyalemen dari kondisi kesehatan keseluruhan yang ada di dalam intern perusahaan. Kenaikan dividend artinya perusahaan berkinerja dengan sangat baik, akan tetapi juga sebaliknya. Bila terjadi penurunan dividend yang dibagikan perusahaan merupakan sinyalemen bahwa kondisi kesehatan perusahaan dalam keadaan yang menurun. Hal ini bisa disebabkan oleh banyak hal misalnya saja kinerja manajemen yang buruk, terjadinya inefisiensi penggunaan sumber daya perusahaan, dll. Sedangkan Client Segmentation adalah teori yang mengemukakan mengenai persepsi masyarakat atas investasi yang mereka lakukan terhadap perusahaan itu sendiri, jika perusahaan berada pada posisi high risk investment, small capitalization, dan growth stock adalah bahwa investor dari saham-saham perusahaan ini sangat mengharapkan return yang juga tinggi sesuai dengan aturan mengenai hubungan risk and return dalam investasi. Mereka cendrung untuk mengharapkan return yang tinggi dari capital gain contohnya. Sedangkan bagi investor-investor pada saham-saham blue chips sebaliknya. Mereka sangat mengagungkan stabilitas dividend. Contoh menarik misalnya adalah pada sector industry telekomunikasi. Sebagian besar perusahaan ini adalah merupakan saham blue chips. Investasi yang dilakukan perusahaan adalah investasi dengan high risk, maka perusahaan tidak dapat menjanjikan besarnya jumlah dividend yang dapat dibagikan perusahaan lebih mengutamakan untuk terus melakukan inovasi baru untuk menjadi market leader di industrinya. Karena karakteristik industry ini adalah industry yang padat modal, dan padat teknologi berbiaya sangat mahal, maka perusahaan tidak pernah membagikan dividend dalam umlah besar, namun perusahaan mereka tetap saja berada dalam deretan perusahaan bersaham blue chips.

Senin, 21 April 2008

Referensi Bacaan Untuk Financial Statement Analysis

Mungkin banyak orang yang berpendapat bawa mata pelajaran atau matakuliah ini menjadi momok bagi sebagian besar siswa SMA program IPS atau mahasiswa dari Fakultas Ekonomi. Karena semua mahasiswa di Fakultas Ekonomi baik dari Program Studi Akuntansi, Manajemen, atau Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan menjadi suatu keharusan untuk mengambil matakuliah Pengantar Akuntansi.

Pada Pengantar Akuntansi yang dipelajari dimulai dari Persamaan Akuntansi, Akuntansi Perusahaan Jasa, Akuntansi Perusahaan Dagang, Firma, dan seluruh siklus akuntansi sampai pelaporan keuangan lengkap (Neraca (Balance Sheet), Laporan Laba Rugi (Income Statement), Laporan Perubahan Ekuitas (Statement of Owners Equity), dan Laporan Arus Kas (Statement of Cash Flows). Hanya ditambah dengan sedikit bumbu-bumbu, seperti Jurnal Koreksi, Menghitung Persedian menggunakan 3 pendekatan LIFO, FIFO, atau Average, menghitung Penyusutan Aktiva Tetap menggunakan paling sedikit 5 metode dari Straight Line Method, Sum of Year Digits, Double Decline, dll, pencatatan harga pokok penjualan menggunakan periodic atau perpetual, belum lagi pencatatan pendapatan menggunakan accrual basis, pasti membingungkan.

Sejujurnya, yang harus diajarkan oleh guru atau dosen yang mengajarkan Akuntansi seharusnya adalah logika berpikirnya lengkap dengan contoh sehari-hari yang mudah dibayangkan dan dialami sehari-hari, kemudian membuat mind mapping dari matakuliah yang diajarkan. Sehingga mudah bagi murid dan mahasiswa untuk memahami materi. Selama ini yang menjadi kesalahan seringkali mahasiswa akhirnya menghapalkan jurnal-jurnal. Yang pastinya menjadi berat, karena keterbatasan memori manusia yang jumlahnya tidak ber-tera byte. Pasti menghapalkan jurnal bukan suatu solusi yang tepat untuk belajar akuntansi. Pengalaman saya yang mengatakan hal itu.

Akuntansi sendiri diterjemahkan sebagai suatu seni. Belajar akuntansi memang butuh ketelatenan, dan ketelitian tinggi. Karena dalam pelaporan akuntansi laporan yang dihasilkan harus handal, relevan, dan dapat dipertanggung jawabkan. Memang sebuah laporan keuangan adalah laporan kinerja historis suatu perusahaan yang tidak mampu mencerminkan apa yang akan dihadapi perusahaan dimasa yang akan datang. Namun sampai saat ini tidak ada di dalam bisnis yang mampu menggantikan keandalan dari laporan keuangan secara akuntansi. Dengan segala keterbatasan yang dimilikinya Akuntansi harus mampu menjembatani kebutuhan para stakeholdersnya. Diantaranya Manajemen, Pemegang Saham, Pemerintah, Karyawan (Serikat Buruh), Masyarakat, dan Pemerintah.

Dalam bisnis, Akuntansi adalah Language of Business. Suatu keharusan sebuah entity memiliki laporan keuangan yang komprehensif. Kemudian laporan keuangan ini digunakan untuk berbagai kebutuhan. Disesuaikan oleh penggunanya.

Sebenarnya untuk memahami akuntansi butuh waktu, tapi untuk memahami laporan keuangan sebenarnya tidak membutuhkan waktu lama. Hanya saja para penggunanya harus memahami untuk tujuan apa laporan keuangan tersebut.

Untuk mempelajari akuntansi bagi anda yang tidak memiliki background pendidikan Akuntansi saya merekomendasikan anda untuk membaca “Finance and Accounting for Nonfinancial Managers” Terbitan Mc Graw Hill, pengarangnya adalah Samuel C. Weaver, dan J. Fred Weston.

Pada buku ini terbagi atas 3 bagian penting yaitu Principles of Accounting and Finance, Financial Planning and Controlling, Investment Strategy and Financing.

Pada bagian yang pertama yaitu, Principles of Accounting and Finance terbagi atas Enam Chapter yang membahas mengenai Peran dan Fungsi Akuntansi dan Keuangan (Function of Accounting and Finance), Laporan Keuangan dan Arus Kas (Financial and Cash Flows Statement), Nilai dari Uang (Time Value of Money), Pasar Uang dan Efisiensi Pasar (Money Market and Market Efficiency), Organisasi Bisnis dan Pajak (Business Organization and Tax), dan Suku Bunga dalam Perekonomian Internasional (Interest Rate in International Economy).
Berikutnya pada bagian Financial Planning and Controlling sendiri terbagi atas Dua Chapter, yaitu Ukuran Kinerja Keuangan (Financial Performance Measurement ) dan Manajemen Modal Kerja (Working Capital Management).

Dan pada bagian terakhir dibahas mengenai Investment Strategy and Financing, sendiri terbagi atas Tiga Chapter, yaitu Keputusan Investasi dan Modal (Investment and Capital Decision), Biaya Modal, Hurdle Rate dan Struktur Pembiayaan (Cost of Capital, Hurdle Rate, and Financing Structure), Pembiayaan Jangka Panjang (Long Term Financing).

Buku ini sangat mudah dimengerti karena sangat sistematis dan memberikan contoh beberapa perusahaan besar di US, misalnya Kellogg’s, Hershey Foods, IBM, Cisco dll.

I really recommended it to you to whom wants to understand more about Accounting and Finance without Accounting or Financial background.

Efficient Market Hypothesis Theory

Ada tiga bentuk hipotesa dari teori Pasar yang Efisien (Efficient Market Hypothesis Theory), teori ini sangat berhubungan erat dengan ketersedian informasi di Pasar Modal dan hubungannya terhadap Kondisi harga-harga saham di Pasar Modal. Bentuk-bentuk tersebut antara lain adalah:

a. Bentuk lemah (Weak Form): mengasumsikan bahwa semua harga-harga saham mencerminkan seluruh informasi pasar yang tersedia (historis), sehingga informasi harga dan volume perdagangan masa lalu tidak memiliki hubungan dengan arah pergerakan harga-harga pada masa mendatang. Kesimpulannya adalah bahwa investor tidak dapat mengandalkan analisa teknikal di dalam menghasilkan keuntungan di atas normal.

b. Bentuk semi-kuat (Semi-strong Form): mengasumsikan bahwa semua harga-harga saham mencerminkan seluruh informasi public non pasar. Harga-harga akan segera “menyesuaikan diri” terhadap semua informasi public yang baru saja diinformasikan. Misalnya: penelitian mengenai saham baru, pengumuman laba dan dividen, perkiraan laba perusahaan, perubahan praktek akuntansi, merger, pemecahaan saham (stock split), atau aksi korporasi (corporate action) lainnya. Kesimpulannya adalah bahwa investor tidak dapat menggunakan analisa fundamental di dalam menghasilkan keuntungan di atas normal.

c. Bentuk Kuat (Strong Form): mengasumsikan bahwa semua harga-harga saham mencerminkan seluruh informasi pasar, public, dan sumber-sumber dari dalam perusahaan (pribadi/private/inside) yang tersedia bagi umum. Informasi tersebut mencakup juga informasi yang dapat diperoleh dari hasil analisa fundamental. Kesimpulannya adalah: tidak ada kelompok yang memonopoli akses informasi yang berhubungan dengan harga-harga saham sehingga memperoleh laba di atas normal dengan memanfaatkan informasi dari orang-dalam (inside information). Pasar modal akan menjadi sempurna dimana semua informasi bebas biaya dan tersedia bagi siapa saja pada waktu yang bersamaan.


Implikasi dari teori Pasar yang Efisien (Efficient Market Hypothesis Theory) terhadap manajemen keuangan adalah bahwa perusahaan akan semaksimal mungkin mengusahakan peningkatan kinerja keuangan perusahaan lebih baik dari tahun ke tahunnya misalnya saja dengan melakukan aksi korporasi misalnya menerbitkan saham baru, mengumumkan kenaikan laba dan dividen, merger, pemecahaan saham (stock split), atau aksi korporasi lainnya. Dengan adanya teori Pasar yang Efisien maka para analis atau pimpinan perusahaan berusaha keras untuk memaksimalisasikan kerja untuk memberikan kinerja yang terbaik bagi perusahaan. Yang juga kemudian akan berdampak positif bagi posisi perusahaan di pasar modal.

Sedangkan kondisi yang terjadi pada kondisi Pasar Modal Indonesia adalah Kondisi Pasar yang belum efisien, yaitu masih berada di dalam kondisi pasar berbentuk semi-kuat (Semi-strong Form). Dimana kondisi di pasar modal mengasumsikan bahwa semua harga-harga saham mencerminkan seluruh informasi public non pasar. Harga-harga akan segera “menyesuaikan diri” terhadap semua informasi public yang baru saja diinformasikan. Misalnya: penelitian mengenai saham baru, pengumuman laba dan dividen, perkiraan laba perusahaan, perubahan praktek akuntansi, merger, pemecahaan saham (stock split), atau aksi korporasi (corporate action) lainnya. Kesimpulannya adalah bahwa investor tidak dapat menggunakan analisa fundamental di dalam menghasilkan keuntungan di atas normal. Kecuali penggunaan analisa fundamental untuk tujuan Investasi Jangka Panjang seperti apa yang dilakukan oleh Warren Buffet. Penggunaan analisa fundamental memegang peranan sangat penting, karena dengan menggunakan analisa fundamental maka kita dapat dengan tepat memprediksi masa depan perusahaan dengan menggunakan konsep-konsep diantaranya Value of the Firm, Discounted Value, Residual Income, dll. Analisa fundamental tidak mengandalkan trend atau pergerakan siklis dari harga saham, seperti apa yang dilakukan oleh analisa teknikal. Analisa fundamental lebih banyak menggantungkan dirinya kepada kinerja Laporan Keuangan. Kadangkala sebagian analis di Pasar Modal melakukan “Financial and Cash Flow Statement Recast” menggunakan informasi yang ada pada Notes to Financial Statement untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai kinerja keuangan perusahaan, dengan memasukkan dan mengeluarkan kembali transaksi-transaksi yang dapat mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan secara signifikan. Dengan dilakukannya Recast maka analis kemudian dapat memperhitungkan kondisi perusahaan dalam beberapa waktu yang akan datang.

OFF BALANCE SHEET FINANCING

Off balance sheet financing adalah kewajiban keuangan yang tidak dicatatkan ke dalam laporan keuangan. Transaksi-transaksi yang seringkali dilakukan off balance sheet financing misalnya adalah leases.

Tujuan dari off balance sheet ini adalah untuk membuat laporan keuangan perusahaan menjadi sangat perform. Dengan melakukan lease, khususnya operational lease, maka perusahaan mendapatkan hasil yang maksimal tanpa harus terbebani melakukan adjustment pada account Depreciation of Fixed Asset nya. Biaya yang harus dicatatkan oleh perusahaan hanya berupa Rent expanse, pada bagian Operating Expanse. Tanpa ada penjelasan lebih lanjut Rent Expanse nya digunakan untuk apa saja. Padahal secara manfaat ekonomi perusahaan mendapatkan manfaat yang paling besar dari digunakannya aktiva tetap tersebut.

Pada Capital Lease atau Financial Lease yang harus dibayarkan oleh perusahaan hanya berupa Interest Expanse dari transaksi Capital Lease atau Financial Lease tersebut.

Anyway… ada beberapa syarat suatu leasing dikategorikan sebagai Capital Lease atau Financial Lease, menurut FASB Statement no. 13,diantaranya:
1. Adanya transfer kepemilikan
2. Adanya Bargain Purchase Option
3. Estimasi Economic Useful lifenya harus ≥ 75%
4. Angka PV (Present Value) dari minimum lease paymentnya ≥ 90% dari market valuenya

Transaksi-transaksi pada off balance sheet sebenarnya secara akuntansi diperbolehkan. Hanya saja yang menjadi masalah besar adalah pada saat transaksi-transaksi off balance sheet tersebut tidak dilakukan disclose pada Notes to Financial Statement. Hal tersebut menyebabkan perusahaan tidak menjalankan GCG atau Good Corporate Governance, memberikan informasi secara terbuka dan informative kepada seluruh stakeholders.

Kemungkinan dengan tidak di-disclose nya suatu transaksi yang off balance sheet adalah terjadinya Financial Shenanigans, yaitu sebuah perbuatan atau penghapusan yang didesain untuk menyembunyikan atau mengubah bentuk dari kinerja keuangan sesungguhnya atau kondisi keuangan dari suatu perusahaan.

Hal ini berbahaya karena manajemen akan cendrung terus melakukan ‘hanky panky’ dalam setiap kali menyajikan Financial Statementnya. Hal ini berbahaya. Karena bagaimanapun juga kerugian yang tidak mereka laporkan tersebut sebenarnya hanya dialihkan atau diundurkan saja saat pelaporannya. Tidak dengan serta merta bahwa transaksi off balance sheet tersebut akan seketika hilang begitu saja. Hal ini sebenarnya seperti manajemen sedang menggenggam bom waktu yang dapat meledak seketika, tanpa manajemen tahu kapan waktunya akan meledak. Motif dari tidak di disclose nya transaksi off balance sheet sebenarnya sangat terkait erat dengan conspiracy theory.

Misalnya pada transaksi-transaksi off balance sheet ini digunakan untuk window dressing to Financial Statement. Dengan tujuan manajemen ingin mereka terlihat perform di mata stakeholdernya, supaya tidak dilakukan penggantian jajaran direksi. Pada akhirnya bagai bom waktu, pada saat tahun berikutnya dengan direksi yang baru, ternyata ada temuan bahwa terdapat transaksi off balance sheet yang tidak di-disclose dalam Notes to Financial Statement. Hal ini kemudian dapat dengan mudah dilaporkan kepada pihak yang berwenang, maka pasti kemudian hal ini menjadi masalah hukum. Apalagi seringkali angka yang disembunyikan ini jumlahnya sangat fantastis. Yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap keuangan perusahaan sendiri.


Transaksi-transaksi off balance sheet sendiri seringkali dilakukan pada SPC, karena dengan sweetener nya biasanya Negara tempat SPC berada memberikan sejumlah kekebalan hukum kepada SPC tersebut. Sehingga mereka menjadi untouchable. Hal ini sangat merugikan. Khususnya investor. Adalah menjadi tidak adil bila kemudian para investor menjadi korban, karena ketidak mengertian mereka mengenai masalah ini. Adalah menjadi sangat penting bagi pemerintah untuk melindungi kepentingan investor, khususnya minority interest yang jumlah kepemilikannya tidak signifikan, sehingga pendapat mereka seringkali tidak didengarkan.

Oleh karena itu kemudian didengungkan mengenai konsep GCG, atau Good Corporate Governance, atau Tata Kelola Perusahaan. Yang mengharuskan untuk mengungkapkan fakta dan realita (openness) dalam setiap pelaporan dari manajemen kepada seluruh stakeholders.

Kamis, 17 April 2008

Special Purpose Company, Special Purpose Vehicles, atau Special Purpose Entities

SPC, SPV, atau SPE didefinisikan sebagai suatu lembaga atau perusahaan yang dibentuk dengan tujuan atau focus tertentu. SPC dibentuk oleh perusahaan sponsor untuk melakukan kegiatan yang spesifik (misalnya financial technique) atau untuk sebuah kegiatan yang bersifat sementara. Biasanya perusahaan sponsor memiliki kepemilikan mayoritas (> 51% kepemilikan) pada SPC dengan tujuan untuk dapat melakukan control sehingga tidak jarang sebuah SPV adalah subsidiary dari perusahaan sponsor.

A special purpose company (SPC) (sometimes, especially in Europe, "special purpose vehicle") is a body corporate (usually a limited company of some type or, sometimes, a limited partnership) created to fulfill narrow, specific or temporary objectives, primarily to isolate financial risk, usually bankruptcy but sometimes a specific taxation or regulatory risk.

Secara umum hal-hal yang memjadi pertimbangan yang mendasari didirikannya sebuah SPC adalah, antara lain:

  1. Melakukan pekerjaan yang beresiko (termasuk resiko hokum) tanpa membebankan resiko kepada perusahaan sponsor.

  2. Untuk menghindari pengenaan atas beban pajak.

  3. Untuk melakukan aktivitas pendanaan (financing) seperti sekuritisasi asset, mengeluarkan surat hutang, dll.)

  4. Melakukan pekerjaan yang spesifik dalam jangka waktu yang terbatas.


Untuk mengoptimalkan tujuan-tujuan dari didirikannya SPC, biasanya SPC didirikan diluar wilayah yuridiksi dari perusahaan sponsor yang mendirikannya atau biasanya dikenal dengan istilah “offshore company”


Berikut ini beberapa criteria yang lazim digunakan untuk tempat berdirinya SPC antara lain:

  1. Yuridiksi dengan insentif pajak yang menarik (tax free or lower tax)

  2. Yuridiksi yang stabil dengan system keuangan, hokum, yudisial dan peraturan yang telah maju dan berkembang.

  3. Infrastruktur yang lengkap termasuk sarana telekomunikasi dan transportasi.

  4. Sovereign risk rating yang kondusif bagi iklim berinvestasi.


Pendirian SPC biasanya memakan waktu yang relative cepat dan dengan biaya yang murah. Umumnya biaya yang dikeluarkan hanya berkisar antara US $ 800 - $1.500. Yuridiksi negara yang menjadi favorot untuk didirikannya SPC misalnya adalah Hongkong, British Virgin Island, Cayman Island, Mauritius, Dominica, Bahamas, dll.


Dalam aplikasinya, biasanya SPC dijadikan entitas yang bankruptcy remote entity membuat perusahaan yang mengalihkan asetnya (originator) terbebas dari kemungkinan diajukannya gugatan pailit oleh pihak ke tiga karena resiko tersebut beralih kepada SPC . Dengan terjadinya pengalihan asset dengan tujuan tertentu atau khusus seperti untuk melakukan sekuritisasi asset, mengeluarkan surat hutang, akuisisi asset, dll. Selain itu SPC memiliki beragam manfaat diantaranya adalah sebagai sarana untuk melakukan financial engineering atau financial technique, untuk meminimalisasikan pembayaran pajak hingga yang paling ekstrim adalah menyembunyikan kewajiban.


Berdasarkan uraian diatas dapat dibaratkan SPC sebagai pisau bermata ganda. Dimana SPc dapat dibunakan dengan niat positif atu negative.


Kasus penggunaan SPC yang mendunia, misalnya adalah pada Enron Corporation sebuah perusahaan energy kelas dunia di America Serikat. Adalah suatu contoh dimana SPC didirikan untuk tujuan negative. Mereka menggunakan SPC untuk tujuan financial engineering dengan melakukan off balance sheet terhadap kewajiban dan kerugiannya sehingga laporan keuangannya terlihat bagus (Financial Statement Windowdressing). Dengan menyembunyikan ratusan juta dollar dari kewajibannya (hutang atau debt) kepada investor dan untuk menghindari pengakuan kerugian dari investasi yang dilakukan oleh Enron. Bahkan hal yang terburuk adalah pada saat Enron menggunakan SPC untuk menjadi counterpartiesnya untuk melakukan aktivitas hedging. Dengan menggunakan SPC ini, maka Enron dapat melindungi investasinya dari terjadinya penurunan nilai. Semenjak SPC digunakan sebagai kedok, SPC dimange oleh para Eksekutif dari Enron, Enron menjadi dapat memaskitkan bahwa mereka dapat menutupi tindakan yang dilakukannya ini.


Kebobrokan Enron ini akhirnya terungkap karena kewajiban dan kerugian terkait dengan hanya dipindahkannya waktu pelaporan dari kerugian tersebut dari pembukuan Enron, tapi tidak akan menjadikan kewajiban tersebut hilang.


Biasanya SPE digunakan sebagai kedok atau sheel companies yang untuk menutupi kecurangan (fraud) yang dilakukan oleh manajemen (management fraud). Kemudian Enron memanfaatkan SPE untuk melakukan penjualan assetnya pada tingkat harga yang berinflasi. Dimana kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya prop up earnings.


Sebagian besar alasan penggunaan SPE adalah untuk tujuan menghalalkan penggunaan financial technique, yang menjadi hal yang sangat sering digunakan pada saat ini. Misalnya banyak retailer yang menggunakaan SPE untuk melakukan penjualan private label credit card receivable (piutang) nya untuk kemudian SPE membeli receivable tersebut untuk kemudian mendapatkan dana dari SPE tersebut. Atau misalnya SPE melakukan pembelian obligasi (bonds) perusahaan induknya yang dijual untuk public. Dengan cara ini maka investor dapat memperoleh investasi yang berkualitas, sedangkan perusahaan dapat dengan cepat mendapatkan uang kas. SPE merupakan salah satu financing tool yang dapat digunakan oleh perusahaan. Di Amerika, beberapa perusahaan yang menggunakan SPE untuk mendapatkan dana misalnya adalah Target, Capital One, General Motor, Citigroup, dan Dell.


Bagaimanapun kesalahan yang dilakukan oleh Enron memberikan pelajaran bagi berbagai pihak bahwa harus dibuat aturan yang lebih keras dan jelas mengenai hal ini. Kongres AS misalnya melalui Sarbanes-Oxley, dua anggota kongres AS yang mengusulkan untuk membuat aturan yang lebih jelas mengenai Good Corporate Governance. Aturan-aturan tersebut misalnya adalah The Sarbanes-Oxley (Sox) Act dan FASB (Financial Accounting Standard Board, atau di Indonesia dikenal dengan nama PSAK Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) lewat FIN 46. Secara lebih lanjut FIN 46 mensyaratkan dilakukannya konsolidasi pada SPE oleh perusahaan induk (sponsoring company) nya. Atau yang kemudian diterjemahkan sebagai perusahaan yang mendapat keuntungan terbesar dari berdirinya SPE tersebut.


Dengan kejadian Enron ini ternyata telah memukul industry jasa akuntansi dan keuangan tidak hanya di AS saja namun juga di dunia, misalnya saja dengan ditutupnya Arthur Andersen yang saat itu menjadi Akuntan Publik dari Enron, karena dipertanyakannya kredibilitas dari Laporan Audit yang mereka sajikan, setelah terjadinya subsequent event (kejadian setelah tanggal neraca) pada Enron.