Setelah kuliah Prof. Igor Walter (from Stern Business School – New York University) gw nulis summarynya di artikel blog ini…
Menarik banget… di kuliah ini dia banyak banget nyorotin masalah MnA di Banking Industry. Sebelum dan setelah tahun 2000. Trus menyoroti juga mengenai salah satu jualannya banking industry di US yang sekarang jadi masalah besar… Lagi2 apa kalau bukan si Subprime mortgage (kredit pembiayaan perumahan di US, sejenis KPR di Indonesia dengan bunga ringan, dan jangka waktu panjang), dengan metode2nya ;) ada ABS (Assets Backed Securities), MBS (Mortgage Backed Securities), etc... Gimana penanganan sebagian dari uncollectible subprime mortgage, yang akhirnya menyebabkan banyak raksasa2 banking industry di US harus menjual sebagian kepemilikan sahamnya dan uncollectiblenya kepada investor2 asing, yang kebanyakan dari Timur Tengah, dan Asia. Misalnya saja kepada Abu Dhabi Investment, Kuwait Investment, Korea Investment dan sang raksasa investasi dari negeri Singa… Namanya udah gak asing banget… Temasek Holdings, yang juga sempat memiliki kepemilikan ganda di Telkomsel dan Indosat pasca privatisasi di era Megawati. Tapi berdasarkan keputusan KPPU bahwa terjadi monopoli atas harga jasa telekomunikasi seluler yang dilakukan oleh dua perusahaan bersadara ini, maka kemudian Temasek Holdings harus melepas kepemilikannya di salah satu perusahaan ini. Kemudian terjadi penurunan tariff komunikasi seluler per 1 April 2008, yang sekarang sudah bisa kita nikmati. Walaupun sampai hari dan detik ini juga belum diputuskan oleh Temasek kepemilikan di perusahaan mana yang akan dilepaskan. Konon menurut beberapa nasum (narasumber) Temasek lebih rela untuk melepaskan kepemilikannya di Telkomsel dibandingkan dengan Indonesia, karena scope bisnis Indosat lebih luas daripada Telkomsel yang hanya bergerak mayoritas pada industry seluler walaupun dengan pangsa pasar yang relative sangat besar di Indonesia sejumlah 30juta pelanggan (net). Menarik banget issue ini. Trus juga fenomena kenapa sebelum tahun 2000 itu yang banyak melakukan MnA adalah banking industry dari kawasan European Union, sedangkan pasca 2000 yang melakukannya adalah banking industry dari Asia Timur, yaitu Korea dan Jepang. Ternyata tujuannya gak lain gak bukan adalah karena market expansion. Costnya pasti juga jadi lebih murah. MnA juga gak sepenuhnya tepat, kalau tanpa perhitungan dan kalkulasi yang tepat. Misalnya ada beberapa Bank juga yang gagal setelah dilakukan MnA (sorry… lupa nama banknya).
Di kulum ini juga datang pak Rudyan Kopot, CEO dari Dipasena Group pertanyaan beliau adalah “How to manage our derivatives portfolio in MnA turbulence?” Jawaban Prof. Walter, derivative akan mengurangi berbagai resiko yang mungkin akan terjadi bila derivative itu tidak digunakan. Paling penting adalah foreign exchange or currency exposure, kalau transaksi para pihak dalam proses MnA itu melibatkan banyak pihak dengan kondisi currency yang volatile. Atau roller coaster economy.
Last but not least adalah pendapat gw bahwa yang namanya MnA gak selalu positif lho. Misalnya aja pada kasus privatisasi Indosat which is means bahwa dia juga mengalami proses MnA. Apa yang terjadi saat ini, dimana pemerintah membutuhkan keberadaan Indosat, ternyata mereka gak punya cukup uang untuk membeli kembali Indosat dari Temasek. Yang menjual hampir dengan harga 25 kali lipat dari waktu pemerintah menjualnya ke Temasek. Dengan alasan yang tidak dimengerti. Tapi rasanya siey ada para pembisik di sekitar Megawati (presiden saat itu), atau mungkin conspiracy theory apapun bentuknya. Gw gak tau…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar