Selasa, 27 Mei 2008
Tragedi Mati Lampu
Hari ini gw dilanda depresi berat. Pasalnya lagi enak2 ngerjain wp (working paper) untuk thesis ternyata mati lampu. Seperti biasa laptop gak pake batreee... Walhasil ilang lah recast dan cash flow mechanic gw... yang sempat ke save yang lama lagi.
Walhasil ngulang ngetik lagi harusnya, tapi listrik matinya udah lebih dari 2 jam. Berhubung karena gw emosi jiwa, maka akhirnya gw memutuskan untuk ke luar rumah aja dan duduk di J.Co Binplaz sambil ngetik thesis...
Tadinya gw mau telpon aja si Pak Dewo (Setyo Anggoro Dewo, Ph.D, CFO PLN Persero). tarif naik tapi koq mati2 terus yah....
Wadooooh!!!
Sabtu, 24 Mei 2008
Inovasi Sampah Rumah Tangga jadi Biomass, Sebuah Energi Alternatif di Masa Depan
Foto Pertama adalah Pak Irwan, owner dari Mittran Solusi Sampah.
Dan Foto Kedua di atas adalah biomass hasil dari pengolahan sampah rumah tangga. Kadar kalorinya lebih besar dari Batubara.
Sorry flownya tulisannya agak ngaco niey…
Gw sebenarnya udah pengen tidur, tapi herannya belum juga ngantuk. Padahal udah hampir 01.30 pagi. Inilah yang terjadi pasca gak ada kuliah lagi. Agak2 ngalong. Padahal dulu waktu masih kuliah, paling telat jam 23.00 gw harus udah tidur. Dan bangun 05.30, cukup lha yaa istirahatnya enam setengah jam. Kadang kalau cape banget bisa juga tidur lebih cepat. Semua sangat teratur. Kecuali menjelang ujian, kalau harus bikin summary gw bisa ngebela2in jam 01.00 atau jam 02.00 bangun dan belajar sampai pagi sebelum berangkat. Tapi kalau udah cape bangeet, bisa juga kebablasan sampai pagi. Akhirnya hanya gw baca cepat aja, dengan mengandalkan index kalau ujiannya open book. Kalau closed book pastinya gw berdoa, dan berharap semua yang ada diingatan gw bisa diandalkan. Kalau gak… pastinya tinggal pasrah aja.
Anyway mo ngomong apalagi yah… Mulai dari inflasi aja deh… perkiraan gw inflasi bulan Mei dan Juni ini sekitar 12-13,5%, trus bulan depan tanggal 4 sepertinya BI di bawah pemimpin barunya Boediono akan menaikkan BI rate sekitar 6,25 – 6,50% artinya bunga pinjaman juga akan naik, akhir2nya pastilah ngeberatin rakyat lagi. Yang paling berat untuk orang2 yang ngambil kredit rumah (KPR), saat real incomenya turun karena kenaikan BBM, dan barang2 konsumsi dasar juga naik harganya. Gak ada pilihan lain bahwa mereka akan pasti mengurangi konsumsinya. Gawatnya kalau yang dikurangi adalah konsumsi untuk gizi keluarga. Gw gak tau deh apa yang terjadi 15-20 tahun yang akan datang. Apalagi akhir2 ini yang gw tau pasca orba program posyandu kayak mati suri. Padahal itu system lapis pertama untuk kesehatan. Kenaikan BBM ini lebih lanjut kemudian menyebabkan terjadinya PHK di pabrik2. Lagi2 kan namanya memarjinalisasikan rakyat. Hitung aja yah berapa banyak yang harus kehilangan sumber pendapatannya kalau tiap pekerja menanggung rata2 5 orang aja. Artinya banyak resiko yang harus ditanggung Negara, berapa angka putus sekolah, berapa angka kurang gizi, berapa angka pengangguran, berapa angka harapan hidup… teralu banyak yang dikorbankan. Mungkin itu yang aka nada di mata kita semua. Kemiskinan lha yang jelas2 bisa diomongin.
Mungkin awalnya semua karena salah ngurus Negara. Presiden sibuuuk banget sama urusan yang gak penting, menurut gw… Penting gak siey untuk dia nonton ayat2 cinta dan bilang kalau dia terharu. Please rakyat itu gak bodoh… pake rombongan lagi sekeluarga. Apa susahnya nonton aja di istana pake DVD. Buang2 uang juga lho… itung aja berapa banyak pengawalnya yang ikut. Daripada gitu kan mendingan mikir gimana yah caranya solusi untuk ngatasin harga minyak mentah dunia yang terus naik. Apakah itu mendatangi orang2 yang ternyata mampu mengembangkan sumber energy alternative, menyediakan teknologinya dengan nunjuk menteri riset dan teknologi untuk teknisnya gimana supaya sumber energy itu bisa dibuat jadi mass production. Bukan Cuma lip service doang kayak gerakan hemat energy yang udah ada aturannya sendiri dibuat oleh presiden, eh malah mungkin dia yang gak ngelakuin. Minjam istilahnya Putra Nababan siey Negara ini miskin contoh.
Gw pernah mendatangi suatu tempat di daerah Jati Sampurna, Pondok Gede. Dekat rumah perubahan nya pak Rhenald Kasali (Mr.RK), gw kagum banget sama pak Irwan. Lulusan FEUI juga, terpikir untuk mengembangkan usaha yang seperti ini. Selain ramah lingkungan, memberdayakan masyarakat, tapi juga ada economic value added. Itu penting banget karena transformasi pembangunan ekonomi itu kan sebenarnya ada tiga tahapan. Yaitu : pembangunan dengan investasi yang padat karya, berikutnya pembangunan dengan investasi yang padat modal, akhirnya pembangunan yang padat kreasi atau istilahnya tuh creativity economy, membangun economic value added. Yang kayak gini seharusnya yang dikembangkan oleh pemerintah. Gw sempat bertanya sama Pak Rhenald “Pak, kalau kita tau ada cara seperti ini yang biayanya murah, memberdayakan masyarakat, bisa menghasilkan uang juga lagi, kenapa gak kita tawarkan konsep ini untuk di gunakan dalam lingkungan UI aja deh dulu sebagai pilot project. Kan kalau sukses ini bisa banget jadi semacam program CSR-nya UI kepada masyarakat sekitar kampus. Apalagi di kampus Depok sampah itu jadi masalah besar lho???!!!!” tau apa jawaban Mr. RK “Itu dia masalahnya, para pimpinan itu sudah antipati aja.” Gw pikir mungkin yang terjadi dengan negeri ini yah sama saja. Udah di atas, lupa kalau dia masih di bumi bukan udah di surga. Oooh yah… untuk teman2 yang mau lihat tempatnya pak Irwan bisa akses di www.solusisampah.com (Mittran Solusi Sampah). Great idea kan. Ini ada beberapa foto2nya waktu kita ke sana. Selain itu juga ada kebun jarak pagar, yang akhir2 ini kita tau bisa jadi bahan dasar pembuatan biodiesel.
Di bawah ini ada kutipan dari tulisan hasil bimbingan mentoring kita ke Mittran:
Laporan Kunjungan Tim Mentoring Bapak Rhenald Kasali Ph. D
Lokasi kunjungan : Tempat pemrosesan sampah rumah tangga Mittran di Jati Sampurna, Pondok Gede, Bekasi.
Waktu kunjungan : Jumat, 3 Agustus 2007
Kunjungan tim mentoring kelompok kami ke tempat pemrosesan sampah Mittran (http://www.solusisampah.com) diawali dari perkenalan dan pendahuluan pembekalan oleh Bapak Rhenald Kasali Ph. D selaku mentor dari tim program mentoring kelompok kami.
Hasil kunjungan dari tim kami ke tempat pemrosesan sampah Mittran adalah bahwa dengan penanganan yang baik maka sampah rumah tangga dapat sangat berguna bukan hanya sebagai kompos yang selama ini banyak kita ketahui tapi juga sebagai bahan bakar alternative biomass, yang ternyata kadar energinya lebih tinggi dari batu bara. Perlu diketahui juga bahwa berdasarkan yang kami alami bahwa ternyata sampah rumah tangga yang selama ini kita pikir akan berbau ternyata tidak. Hal ini merupakan suatu yang menarik karena paling tidak kita bisa mengurangi pencemaran yaitu pencemaran udara (dari bau yang dihasilkan oleh aroma busuk sampah tersebut), dan pencemaran air dan tanah ( dari dibutuhkannya tempat penampungan sampah yang dalam jangka waktu panjang akan mencemari tidak hanya tanah yang menjadi lokasi penampungan sampah tersebut tetapi juga pencemaran terhadap kandungan air tanah di sekitar lokasi tempat penampungan sampah itu). Paling penting dari semua ini adalah dengan memaksimalisasi pemrosesan ulang sampah rumah tangga tersebut paling tidak akan mengurangi dampak dari global warming yang saat ini sedang menjadi top issue dan mengancam dunia, tak terkecuali Indonesia yang selama ini juga dijuluki sebagai paru-paru dunia, karena kita terletak di khatulistiwa dengan luas hutan hujan tropis terbesar pertama di dunia.
Sebuah pengalaman yang sangat berharga untuk kami sebagai mahasiswa MM-FEUI yang kelak nantinya akan menjadi pimpinan di Perusahaan. Bahwa dengan hal-hal yang kecil tapi dengan kesadaran yang besar maka kita bisa membantu pemerintah dalam menyelesaikan hal kecil tapi punya kontribusi pada keberlangsungan ekosistem yang kita tinggali saat ini, BUMI.
Atau mungkin suatu saat kami menjadi CEO maka pengalaman yang kami dapat semoga akan dapat dimanfaatkan. Sebagai CSR program di perusahaan misalnya. Paling tidak dengan pemrosesan sampah seperti ini kami dapat berkontribusi untuk memberikan lapangan kerja bagi masyarakat di sekitar lokasi pemrosesan sampah tersebut.
Sampah sendiri akan menjadi suatu yang menarik setelah kami melakukan kunjungan ini. Semua yang dihasilkan dampa rumah tangga ini dapat dimanfaatkan. Mulai dari Biomass, Kompos, Tanah, Botol-botol bekas yang dapat dijual kembali, dan Tali plastik.
Menurut saya pribadi sangat menarik apabila cara pemrosesan yang sama kita usulkan kepada pihak rektorat UI, almamater kita tercinta untuk mengatasi masalah sampah yang selama ini menjadi momok khususnya di Kampus UI baru Depok, juga di Kampus UI Salemba karena selama ini khususnya kampus UI Depok sangat banyak ditemui sampah-sampah yang bertebaran. Apalagi selama ini biaya pengelolaan taman dan kebersihan kampus jumlahnya secara nominal sangat besar. Tanpa ada hasil yang signifikan dari jumlah yang dianggarkan dan telah dikeluarkan oleh rektorat. Apabila pemrosesan sampah yang seperti ini kita gunakan di lingkungan Kampus UI maka saya yakin selain Kampus UI juga kelihatan lebih bersih, menekan biaya kebersihan juga menghasilkan suatu pos pendapatan baru yang lumayan jumlahnya. Dari sini pula akan terjalin kerjasama dari alumni FEUI yang juga pemilik Mittran Solusi Sampah, UI, dan junior-juniornya untuk bisa saling berbagi.
Saya pribadi yakin, cara pemrosesan yang seperti ini sangat ramah lingkungan. Karena sangat sedikit sekali menggunakan energy, namun akan menghasilkan energy baru yang lainnya yang dimasa yang akan dating akn mampu menggantikan fungsi batu bara sebagai sumber energy. Yang kami ketahui bahwa salah satu konsumen dari biomass yang diproduksi oleh Mittran Solusi Sampah adalah Indocement, dan sedang dijajaki kemungkinan untuk melakukan kerjasama dengan Indopulp. Karena pada saat kami melakukan kunjungan juga bersamaan dengan perwakilan dari perusahaan tersebut. Hal ini merupakan suatu yang harus kita berikan sambutan yang positif. Karena kita dapat melihat adanya sambutan positif dari industry atas pemrosesan sampah yang menurut saya pribadi sangat tepat guna.
Dibutuhkan tidak hanya keinginan kita bersama yang cukup besar untuk merubah cara dan paradigm kita dalam pengelolaan sampah yang selama ini ada. Tapi harus disertai dengan tindakan nyata. Suatu hal yang sangat tepat apabila sampah dapat digunakan untuk hal-hal yang positif seperti ini bukan hanya menjadi momok yang tak berakhir bagi pemerintah seperti apa yang selama ini dialami oleh Pemda DKI Jakarta dengan masalah TPA Bantar Gebangnya yang tak pernah berakhir. Mungkin tidak akan berakhir seperti ini apa ini apabila dalam pengelolaan sampahnya Pemda DKI, dengan masyarakat di TPST Bojong juga TPA Bantar Gebang.
Merupakan suatu pekerjaan besar untuk kita sebagai kaum-kaum yang bisa dibilang “intelektual” bukan hanya mampu berteori di kampus, tetapi juga menggerakkan masyarakat dan menjadi contoh positif bagi masyarakat di sekitar kita. Juga para pengusaha besar yang sekarang condong untuk based on money atau money oriented.
Semoga berguna yah teman2 sedikit coretan gw ini. Paling gak bisa buka mata kita bahwa harus ada goodwill, dan kemauan keras dari pemerintah khususnya dan kita semua juga. Jangan terus hanya ngarapin pemerintah. Tau sendiri lah yaa… mereka suka gak sensitive sama masalah2 beginian. Maju terus Indonesiaku!!! Better life without Corruption. Lets Say No to Corruptions!!!
Indonesia No. 1 dalam Kematian Ibu??????????????????
Guess what!!! Gw barusan aja ngliat headline banner di Metro TV bahwa ternyata angka kematian ibu di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia Tenggara lho… Yang bisa gw bilang adalah MIRISSSS….
Saat pemerintah seperti kebakaran jenggot dengan melambungnya harga minyak dunia, apa yang bisa kita lihat??? Ternyata masih di negeri ini juga, angka kematian ibu yang sangat tinggi adalah di Indonesia. Yang terngiang di kepala gw adalah masa siey kita kalah sama Negara-negara sekelas Kamboja, Vietnam atau Myanmar yang kehidupannya kayak Indonesia di 40 tahun yang lalu. Atau gw yang mungkin bagaikan hidup di dalam tempurung, karena yang gw tau Cuma Indonesia doang????
Tingkat angka kematian ibu atau mortality rate ini pastinya sangat berhubungan erat dengan tingkat pendidikan ibu, kondisi ekonomi, dan kondisi lingkungan (eksternal dan internal). Ini sangat terkait dengan tingkat pendidikan ibu karena gw sangat yakin bahwa semakin tinggi pendidikan seorang ibu, pastinya tingkat kesadarannya terhadap kesehatan pra dan pasca kehamilan pasti menempati posisi penting. Suatu hal yang untuk para perempuan di kota besar yang gw yakin mungkin hampir setiap kali control kehamilan kepada Gynecolognya pasti minta di-USG. Padahal menurut beberapa nasum (narasumber) selama kehamilan seharusnya cukup 3 kali melakukan pemeriksaan menggunakan USG, yaitu setiap trimester. Kalau para perempuan di desa-desa… Boro-boro ke ginekolog, dokter umum aja susah… paling-paling bidan atau bahkan gak kenal bidan, karena Cuma ada dukun beranak. Gw siey to be honest aja gak yakin kalau mereka akan mengusahakan sterilitas dari peralatan yang digunakan selama menolong kelahiran. Karena keterbatasan yang ada karena minimnya infastruktur yang tersedia, gak heran kalau ternyata banyak ibu yang dalam proses bersalin kalau ada faktor-faktor yang dengan penyulit dan harus dirujuk, ternyata meninggal di dalam perjalanan. Program suami siaga atau apalagi siey yah namanya (Sorry gw lupa…) sebenarnya sangat membantu. Kalo gak salah ada tuh program yang melibatkan seluruh masyarakat di sekitar tempat tinggal si ibu hamil. Terus di buat rencana strategiknya kalau ternyata dalam persalinan ternyata ada penyulit itu. Ini ide yang bagus, tapi gak tau yah masih jalan atau gak programnya. Menurut gw sebenarnya ini kalau dilaksanakan dengan benar bukan Cuma bisa mengurangi angka kematian ibu, tapi juga balita yang kurang gizi, serangan wabah penyakit. Jadi responnya bisa cepat, penanggulangannya juga pas, akhirnya kan gak lebih banyak korban jiwanya.
Balik lagi ke si ibu hamil… dengan tingkat pendidikan yang tingginya pasti kesadaran ibu untuk mengkonsumsi bahan makanan yang memang terbaik untuk janinnya akan lebih mudah dieksekusi. Ini kayak cerita investasi jangka panjang. Bayi2 yang lahir itu kan generasi penerus kita, sumber daya manusia yang harus menggantikan kita-kita di saat kita harus pension. Mana mungkin SDM nya berkualitas kalau di saat balita harus berguguran karena kurang gizi. Yang lainnya adalah kondisi ekonomi. Ini bagaikan biang kerok sumber segala masalah dengan kemampuan ekonomi yang terbatas, rasanya sangat mustahil si ibu bisa punya latar belakang pendidikan yang cukup baik, lebih lagi diperburuk dengan ketidakmampuan mengakses fasilitas kesehatan, yang memang sangat terbatas di pelosok-pelosok negeri ini. Butuh waktu lama dan bertele-tele untuk membuat rakyat miskin dapat mengakses fasilitas ini, misalnya harus ngurus askeskin, padahal kondisinya sudah sangat urgent. Faktor berikutnya adalah kondisi lingkungan eksternal misalnya keterbatasan fasilitas infrastruktur jalan misalnya yang membuat waktu tempuh ke fasilitas kesehatan menjadi lebih lama. Faktor internal menurut gw adalah kondisi ibunya, pemahaman bahwa saat persalinan itu sangat rentan terhadap terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, membuat masih ada saja sebagian perempuan yang memilih untuk melahirkan dengan menggunakan jasa dukun beranak.
Tulisan di atas hanya merupakan pandangan gw aja lho… Yang masih sangat awam dengan masalah2 beginian. Cuma sebagai perempuan rasanya miris lho… Kalau menurut gw saat melahirkan adalah saat dimana kita harusnya memiliki berbagai harapan kepada baby kita. Bisa lebih baik, punya pendidikan yang lebih tinggi daripada kita orangtuanya, dan pastinya berguna bagi orang lain, nusa bangsa, dan agama. Saat melahirkan adalah saat dimana semua orang di sekitar kta dipenuhi dengan kebahagian harusnya, bukan kesedihan yang mendalam karena ibu yang harus meninggal saat menghadapi persalinan.
Pemerintah… mulailah kembali flash back, dan mengakui bahwa pasca reformasi kita sangat keteteran dengan masalah2 seperti ini. Lihatlah di jaman orba, pemerintah sangat sukses dengan program posyandu, PIN, KB, atau program yang lain2 (Sorry… Lagi2 lupa niey). Pemerintah harusnya menyadari kondisi ini. Gw yakin orang2 di pemerintahan pastinya lebih canggih deh strateginya dari apa yang gw pikirin.
Please… ini wajib jadi perhatian lho… Bukan hanya bagi pemerintah yang pasti kemampuannya terbatas, tapi paling tidak mereka lebih siap secara system. Kita orang2 kampus bantulah pemerintah dengan sedikit tenaga. Pasti sedikit tenaga yang kita sumbangkan itu akan berguna untuk orang2 yang benar2 membutuhkan kita di pelosok negeri ini. Gw sangat salut sama teman2 dokter PTT yang mengabdikan dirinya untuk masyarakat di pelosok. Yang kalau mungkin gw yang harus ngejalanin semua itu akan nangis2 bombay tiap malam, jujur gw gak sanggup. Tapi pasti gw yakin rasanya mereka akan berat bangeeeet ninggalin masyarakat di pelosok itu. Sekali lagi teman-teman gw salut bangeeet kalian bisa jalanin “Tugas Negara” itu. Kalau gw… jangan ditanya… pasti nangis Bombay, mati gaya, kesepian, dan yang gw lakuin Cuma menghitung hari. Gak penting banget kan… bikin hari berasanya semakin panjang.
Temans… ayo berkontribusi kepada orang yang gak seberuntung kita. Sekecil apapun kontribusi itu pasti berguna untuk orang lain. Kan yang dibawa mati Cuma tiga hal… Yaitu anak yang sholeh dan sholeha, ilmu yang diamalkan, dan amal & ibadah kita selama di dunia. Sorry lho… kalau kesannya gw sok tau banget… tapi Cuma itu yang bisa gw lakukan.
Jumat, 23 Mei 2008
Venture Capital
Mungkin istilah ini beberapa tahun terakhir bagaikan happening. Venture capital sendiri sebenarnya hanya merupakan istilah. Yang pengertiannya mirip-mirip dengan metode bagi hasil atau mudarabah dan kawan2nya dalam system ekonomi yang berbasiskan syariah. Cuma venture capital itu banyak diterapkan di Negara-negara kapitalis seperti US, karena mereka agak2 alergi dengan bahasa yang berbau Arab, apapun bentuknya. Jadi ceritanya venture capital lah akhirnya namanya dikenal di Negara-negara kapitalis.
Asal muasal venture capital adalah system yang diadaptasi berbasiskan system ekonomi syariah. Alias ekonomi bapak angkat. Dalam venture capital lebih dikenal system profit sharing alias bagi laba (even kadang2 harus bagi rugi juga… ;) ) di Indonesia mungkin kita kenal beberapa perusahaan yang mengadaptasi system ini misalnya PT Bahana Modal Ventura, dan PT. PNM, (mungkin masih ada perusahaan lainnya tapi ini yang gw inget… Sorry guys). Ada beberapa yang bisa gw kasih tau contohnya dua perusahaan ini membuat system seperti incubator bisnis, sasarannya pengusaha muda kecil-menengah. Mungkin untuk sebagian orang di Jakarta (seperti gw juga contohnya…) pasti kita pernah dan bahkan addict banget makan di Sushi Tei… Restoran ini adalah binaan Bahana lho… Harganya sangat terjangkau untuk makanan sekelas Sushi, pokoknya harganya sangat kantong mahasiswa deh… Kalau PNM setau gw adalah mengembangkan industry pertanian di daerah Lembang, entah itu sayur, bunga, buah, dan susu untuk dipasok ke hypermarket2 besar di sekitar Jabodetabek, dan Bandung.
Menurut gw pembangunan ekonomi kerakyatan seharusnya mengadaptasi system yang seperti ini. Orang2 kampus seharusnya turun tangan niey… Gak Cuma sampai mati belajar capital budgeting terus, bikin strategic business plan and development. Turun ke bumi lha… Jangan belajar ngambang terus. Cuma nyantap bukunya Damodaran, atau siapa lagi itu yang tergabung dalam kitab suci ilmu Valuation. Ayo guys… Banyak orang yang butuh kita. Kita kan harus balance, kita kan gak hidup di surga yang semuanya sudah perfect. Kombinasi antara ilmu dan pengalaman membuat semuanya akan napak tanah gak Cuma ilmu yang di awang2. Ternyata kalau sudah masuk ke dunia banyak variabelnya gak hanya sensitivity analisis pake variable x, y, dan z tapi ada variable lain a sampai w. Mungkin ilmu kita masih dikit banget. Kalah lha sama suhu2 kita… Tapi ilmu yang bermanfaat itu lebih besar lho valuenya daripada yang Cuma ngendap di atas thesis atau di laptop dalam folder Investment Valuation. Mungkin dengan ilmu yang terbatas itu justru kita bisa membantu sebagian orang yang tidak seberuntung kita. Kita bisa dengan mudahnya mencapai TPA, GMAT, dan International TOEFL yang angkanya semuanya di atas 550. Taukah kita bahwa ada orang yang sampai mencoba masuk MM FEUI 10 kali sampai saat gw masuk MM FEUI dia belum juga bisa masuk. Sebagian besar kita gw yakin hanya butuh satu kali daftar dan langsung lolos melalui seleksi. Kita yang punya berbagai macam fasilitas, yang punya network yang sangat bagus dengan para CEO terpandang di negeri ini, punya kemampuan akademis dan financially (gw sangat yakin anak2 MM FEUI punya semua ini). Please… pedulilah pada keadaan di sekitar kita. Mungkin di kelas, kita sempat sharing sama Pak Nino (Junino Jahja), dan Pak Anas Lutfi. Sekali lagi dari kuliah ini banyak pelajaran yang bisa kta petik. Bahwa tanpa kita akan kembali terjadi krisis… bukan hanya sampai krisis perekonomian. Tapi bisa sampai krisis hati nurani lho… Gawaaat kalau sampai itu terjadi…
Balik lagi ke venture capital dengan system inkubasi bisnis, maka akan dihasilkan pengusaha-pengusaha yang tangguh. Karena para bapak angkat dengan mudahnya akan memberikan arahan secara manajemen (katanya siey ini yang paling susah), teknis, dan mencarikan jalan untuk memasarkan produknya (didefinisikan sebagai barang atau jasa yah…) saat usahanya mulai bergerak dari introduction stage to growth stage maka mulailah pengusaha dan bapak angkat mulai memanen hasilnya. Hasilnya dibagi sesuai dengan komposisi yang disepakati pada saat akad kerjasama (penandatanganan MOU). Saat pengusaha dinilai mapan, maka kemudian dia harus melakukan pembinaan terhadap infant entrepreneur. Good idea… menumbuhkan kesadaran pengusaha untuk peduli pada pengusaha kecil. Bisa juga kan jadi program CSR nya pengusaha yang udah sukses tadi. Dengan ekonomi kerakyatan, pengusaha yang kecil begini biasanya lebih resistant sama krisis perekonomian seperti yang terjadi di tahun 1998. Karena mereka sangat disiplin dalam hal membayar kredit atau tunggakan kewajiban. Kontras dengan para obligor2 yang sempat aset2nya bertengger di BPPN dengan segala kontroversinya yang ada. Aset2 yang nilainya kecil di parkirkan di BPPN sedangkan yang jumlahnya fantastis di parkir di luar negeri lho… Khususnya di Singapura, surga para obligor tuh… Sebutlah nama2 seperti The Nan King, Syamsul Nursalim, dkk… Mereka dengan sangat mudahnya tiap weekend berkeliaran di Orchard road, yang notabenenya jaraknya hanya puluhan mile dari kawasan territorial Indonesia. Tapi mereka layaknya hidup di surga bergelimpangan harta, kontras dengan sebagian besar masyarakat di Indonesia yang terbebani oleh melonjaknya harga minyak dunia. Karena takut dana yang besar dan terparkir di Singapura itu kemudian harus balik lagi ke Indonesia, sadarkah kita bahwa sampai hari dan detik ini belum juga disepakati mengenai Kesepakatan Ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Entah sampai kapankah lagi perjanjian mengenai kesepakatan ekstradisi akan dieksekusi oleh pemerintah kedua Negara. Ini semua demi kepentingan bangsa lho… Tapi apa yang kita lihat… Sebagian besar anggota dewan yang terhormat di Senayan itu malah lebih sibuk dengan draft RUU pemilu. Seperti kita tau lha… itu terkait dengan kepentingan mereka di Pemilu 2009. Jadi omong kosong lha kalau disebut mengutamakan kepentingan masyarakat diatas kepentingan pribadi dan golongan.
Kamis, 22 Mei 2008
Perlambatan Ekonomi Global????
Next, kita nyebutnya STAGNASI PEREKONOMIAN aja yah... Habisnya kalo perlambatan ekonomi itu bahasanya penuh dengan nada-nada politis!!! Stagnasi ekonomi tidak dialami oleh suatu negara kecil di Eropa. Asal tau aja, negara itu gak tergabung dalam European Union (Uni Eropa) atau masyarakat Ekonomi Eropa. Negara itu adalah SWISS!!! Taukah kita bahwa SWISS merupakan negara dengan GDP terbesar di Eropa. Dengan tingkat stabilitas ekonomi yang sangat tinggi. Dan satu hal yang menarik mereka masih tetap menggunakan Swiss Franc dalam seluruh transaksi perekonomiannya baik dalam maupun luar negeri.
Tingkat pengenaan pajak yang sangat tinggi di Swiss ternyata mampu benar2 membuat rakyatnya makmur dan sejahtera. Memang, rasanya gak apple to apple compare kalau sama Indonesia. Tapi rasanya pemerintah bisa mencontoh strategi pembangunan ekonominya.
Swiss sangat fokus. Hanya pada industri2 yang menurut mereka mempunyai daya saing atau bahasa kampusnya alias akademisi di strategic management tuh economic value added. Industri apa saja itu??? Pisau lipat (really...), mesin jam tangan (yang konon kabarnya no wahid di dunia), industri coklat, dan pariwisata. Pemerintah Swiss memberikan insentif kepada investor yang menanamkan modalnya di industri2 tersebut, misalnya tax deduction yang sangat tinggi, bahkan ada sebagian industri (sorry lupa industri yang mana) yang ternyata tax free, dan sekali lagi Tax holiday untuk investor yang nilai kapitalisasinya besar, dan menguasai hajat hidup orang banyak. Misalnya pembangkitan tenaga listrik, dsb...
Guess what... Setelah world war 2 ternyata Swiss mampu membangun industrinya dengan fokus. Pada industri2 di atas. Pariwisata Swiss misalnya... Pegunungan Alpen semua orang tau pasti ada di Swiss, padahal ada beberapa negara juga yang viewnya ke pegunungan Alpen gak kalah sama Swiss.
Pemerintahnya sukses untuk membangun economic value added nya. Nah, sekarang kita lihat apa yang dilakukan pemerintah Indonesia. Teralu banyak investasi asing yang move dari Indonesia. Let say Sony, dulu pabriknya ada di daerah Bekasi sana. Berapa banyak karena aturan yang gak jelas lagi2 rakyat yang harus di korbankan. Buruh2 pabrik itu harus kita tahu mereka pindah dan menjadi kaum urban di perkotaan karena keterbatasan infrastruktur di desa. Bayangkan saja masih di Pulau Jawa ada desa yang harus di tempuh dengan jalan kaki selama 8 jam dari kota Lumajang. Sebagian besar dari warga di desa itu adalah para buruh tani, sedangkan para pemudanya menjadi buruh2 di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Pemudinya sebagian besar menjadi pekerja rumah tangga di kota-kota besar, atau menjadi buruh2 pabrik. Yang tersisa di kota itu hanyalah para kaum tua dan anak-anak di bawah 12 tahun. Jarak yang harus di tempuh oleh anak2 di desa itu menuju sekolah terdekat sejauh 3,5km. Bayangkan 7 km pulang pergi (kalo gw siey langsung pengsan pastinya) harus jalan di jalanan berbecek kalo hujan, dan tandus dan berdebu kalo musim kemarau. Belum lagi mereka harus menyebrangi sungai... (mmmmh... gak nyangka masih ada beberapa anak yang mau terus melanjutkan sekolahnya). Please... Pemerintah... Bangun dunk sekolah sampai SMP aja sesuai dengan gerakan wajib belajar sampai SMP. Perbaiki 3 hal yang bisa menyelamatkan kita dari Stagnasi Perekonomian... Tiga hal itu adalah investasi dasar pada sumber daya manusia. Gizi masyarakat, Kesempatan Belajar, dan Akses terhadap Kesehatan.
Menurut gw, karena daya saing manusia Indonesia yang sangat rendah membuat kita tidak siap menghadapi yang terjadi. Khususnya mental. Perlambatan ekonomi terkait dengan ketidakresponan pemerintah untuk seluas2nya memberikan akses kepada para pengusaha kecil yang selama ini terbukti mampu menggerakkan perekonomian saat terjadinya krisis perekonomian. Yang penting sebenarnya akses terhadap modal. Kredit usaha kecil, kredit usaha rakyat, atau apapun namanya. Selama ini yang kita terus lihat adalah pemerintah terkesan hanya welcome terhadap investor asing. Padahal kita harus tau bahwa mereka dapat dengan mudahnya menarik investasinya di Indonesia untuk kemudian melakukan investasinya di negara lain yang mampu memberikan insentif lebih menarik bagi mereka dalam berinvestasi. Sedangkan para pengusaha lokal dan kecil... Tersingkir.... Sangat kontras dengan prinsip ekonomi kerakyatan kan!!!!
Balik lagi ke Stagnasi Perekonomian. Kita harus sadar kalo selama ini seringkali disebutkan bahwa capital in flight negara ini sangat besar... Asal kita tau... Semua itu hanya berupa hot money di Money and Capital Market!!! Suatu yang tragis!!! Uang yang beredar di capital market itu dapat dengan mudah pindah, dan gak ada restriksi pemerintah untuk itu. Selama IHSG menguat akan banyak capital in flight, atau ada signalling dari para emiten yang mampu memikat para investor. Setelah itu lenyaaaaap!!! Pindah ke Dow Jones, Straight times, atau apalah...
Stagnasi perekonomian yang terjadi selama ini adalah karena perekonomian dinilai dari angka yang tercantum pada indeks di capital market. Padahal itu adalah perekonomian ilusi... Yang dapat musnah sekejab... Ingat real uangnya kita gak tau ada dimana.
Stagnasi perekonomian yang dialami saat ini sebenarnya merupakan akumulasi dari ekonomi ilusi. Di US, krisis subprime morgage misalnya disebabkan oleh murahnya bunga untuk cicilan perumahan, dalam jangka waktu yang panjang. Orang2 di US merasa karena selama ini bunga cicilan perumahan dianggap sangat murah dengan jangka waktu yang sangat panjang pula. Karena selama ini mereka (kita juga siey) mengganggap bahwa rumah adalah bentuk investasi yang sangat prospektif. Akhirnya.... Terjadi kredit maceeeet dari subprime morgage yang menyeret dua bank kreditur subprime mortgage terbesar di US yaitu Citigroup, Meirill Lynch, dan Morgan Stanley. Yang ketiganya dikenal sebagai raksasa perbankan di US. Ternyata membuat keputusan yang salah dalam penyaluran subprime mortgage. Dengan sistem MBS (Mortgage back securities) semakin memperburuk keadaan. Bank2 kreditur ini tidak bisa melakukan penagihan kepada debiturnya. Jumlahnya sangat fantastis.... Keseluruhannya US $ 945 Milyar Boss!!! Untuk satu perusahaan seperti Citigroup jumlahnya sebesar US $ 9,8 milyar per kuartal terakhir tahun 2007. Gak heran kalo akhirnya Citigroup terpaksa melakukan PHK massal terhadap sejumlah 45 ribu orang dari 320 ribu karyawan Citigroup.
Fenomena ini juga membuat Standard and Poors (S&P) menurunkan grade perusahaan ini. Membuat tingkat resikonya juga bertambah dan menurunnya harga-harga saham raksasa perbankan ini menurun drastis. Karena penurunan ini maka terjadi fenomena hot money, termasuk di Indonesia. Penarikan dana besar2an masuk ke capital market yang selama ini dianggap masih menguntungkan termasuk diantaranya Indonesia...
Apa yang dapat kita lakukan??? Jangan pernah menggunakan kredit lebih dari yang mampu kita laksanakan. Misalnya fenomena yang terjadi saat ini adalah KTA atau Kredit tanpa Agunan... Ini sangat potensial dalam menyebabkan runtuhnya perekonomian suatu negara. KTA diberikan oleh Bank-Bank tanpa memikirkan prinsip 5 C dalam pemberian kredit yaitu Capacity, Collateral, Character, Capital dan Condition of Economy. Lihat.... 3 dari 5 kriteria di atas aja gak dipenuhi... tapi ternyata masih juga digelontorkan dananya. Kontras dengan 5 C dalam Credit Policy kan????!!!!
Menurut gw... Saat ini masyarakat harus diedukasi bahwa sebenarnya saat kita mengambil suatu kredit kita harus sadar, yakin, dan mampu untuk memenuhi kewajiban kita. Hal ini tidak saja hanya karena nanti akan dikejar-kerjar sama debt collector tapi lebih dari itu adalah kondisi cadangan devisa, dan kemampuan fiskal pemerintah pada akhirnya. Hal ini serupa dan hampir sama dengan kondisi yang dialami Indonesia pada saat krisis. Dimana para obligor pinjam dengan jumlah yang sangat besar, tidak sesuai dengan dana yang harusnya dibutuhkan (amount mismatch), pinjam untuk financing dalam jangka waktu panjang dengan menggunakan financing jangka pendek (timing mismatch), yang terakhir adalah pinjam dalam US $ yang sangat volatile (currency mismatch).
Apakah kita akan membiarkan ini terjadi yang kedua kalinya di Indonesia??? Rasanya sangat tidak arif bila kita pada akhirnya membiarkan anak cucu kita yang harus melunasi hutang2 kita. Membiarkan mereka mewarisi jiwa sebagai debitur. Dengan memberikan "Kebebasan Finansial" atas penggunaan kartu kredit yang tidak terkendali???
Sudah saatnya bagi kita untuk melakukan perbaikan. Bukan hanya berharap bahwa pemerintah membuat aturan (karena konon katanya siey biayanya teralu mahal, apalagi para anggota parlemen kan suka ngaret kalo bikin undang2... u know lha!!!), mulailah pada diri sendiri berkaca dan berkaca sebelum membuat bencana yang lebih besar bagi negara ini lewat tagihan kartu kredit dan KTA kita... ;)
Rabu, 21 Mei 2008
Kenaikan BBM dan Kotroversinya
Apakah gak lebih baik kalo programnya SBY yang penghematan nasional benar2 dilaksanakan??? Melakukan collection Obligasi Rekap Bank2 dalam BPPN (sekarang PT. PPA atau Perusahaan Pengelolaan Aset, katanya mo dibubarin trus ganti nama lagi), gimana kalau uang yang 40 trilyun ada di SBI di gelontorkan ke perekonomian, rasanya pemerintah gak perlu susah2 menaikkan harga BBM. Bayangkan aja 40 trilyun cuma di parkir di SBI, gak ada manfaatnya. Rasanya jumlah sebesar itu bermanfaat banget kalau bisa untuk bangun sekolah2 yang mau roboh, atau untuk kebutuhan gizi balita yang nyaris meninggal karena gak jalannya program posyandu pasca keruntuhan orba, pembangunan puskesmas di pelosok2 negeri, membangun infrastruktur jalan, listrik sampai ke pedalaman, aneh aja rasanya saat dengan gampangnya sebagian orang maksudnya pejabat minta tunjangan jabatan sampai senilai 20juta per orang perbulannya di luar tunjangan yang lain2 rakyat yang harus merasakan penderitaan gak punya tunjangan "kemiskinan", padahal sadar atau gak setiap anggota parlemen atau wakil rakyat bisa dapat pengurang pajak atau insentif sejenis ini.
Sedangkan untuk memberikan "Tax Holiday" untuk beberapa industri yang padat karya, padat modal, dan menguasai hajat hidup orang banyak aja pemerintah masih mikir ribuan kali. Apakah ini yang namanya adil untuk rakyat miskin????
Kayaknya kalo cuma dengan menaikkan harga BBM, kita gak perlu seorang presiden yang lulus S3 dari IPB dalam bidang Ekonomi rakyat. Kalau ternyata selama pemerintahannya yang belum 5 tahun aja terhitung sudah hampir 3 kali menaikkan harga BBM. Waktu recovery perekonomian pasca kenaikan BBM tahun 2005 dan 2006 aja butuh waktu setahun. Apalagi kalau ternyata sekarang harus dinaikkan lagi. Tanda-tanda stagnasi (gw agak kurang suka nyebut Perlambatan Ekonomi) ekonomi sudah di depan mata. Gak menutup kemungkinan kalo ternyata tahun ini kita bisa inflasi sampai 2 digits. Memang selain karena krisis Subprime Morgage di US, Krisis Energi dan Pangan semakin memperburuk keadaan. Tapi yang dilakukan pemetintah adalah NOTHING... Lihat saja berapa banyak rakyat yang tidak bisa mengakses kebutuhan dasar untuk hidup, misalnya makan, pendidikan dan kesehatan. Gak fair apa yang terjadi!!!
Soal BLT... Menurut gw mungkin pemerintah mengadopsi sistem di Belanda atau Jerman. Dimana orang miskin dapat subsidi sejenis BLT di Indonesia. Tapi apa yang terjadi??? Masalahnya di dua negara tadi orang2nya malu kalau dikelompokkan sebagai rakyat miskin. So subsidi tersebut hanya 2-3% yang cair dari keseluruhan yang dianggarkan oleh pemerintah. Sehingga dana yang tidak cair itu menjadi dana abadi, trus digunakan untuk memberdayakan masyarakat miskin. Kenyataannya berbanding terbalik dengan Indonesia. Dimana semua orang yang "gak miskin" juga minta jatah, dan minta diakui sebagai rakyat miskin. Masalahnya bukan hanya sampai di situ, penyalurannya kepada RTS (rumah tangga sasaran) ternyata tidak tepat sasaran. Yang benar2 miskin malah gak kebagian. Seperti beberapa hari lalu ada keluarga di Timor Tengah Utara punya anak 6 dan bapaknya bekerja hanya mengembalakan kuda, tau apa yang dimakan keluarga itu????? Hanya biji jagung kering dan bunga tebu di masak seperti sayur bening!!!! BLT boleh... Tapi bukan untuk mengajarkan masyarakat miskin menjadi peminta-minta seperti apa yang terjadi saat ini. Pengambilan BLT tahun 2005 membuktikan bahwa BLT menelan korban jiwa!!! Harusnya dengan keadaan ini pemerintah bisa membuka mata dan hatinya. Menurut gw mungkin lebih bagus untuk kondisi Indonesia penyalurannya mengadaptasi sistem yang digunakan oleh beberapa NGO seperti Dompet Dhuafa dengan LKC, atau PKPU. Rasanya lebih cocok dan tepat sasaran. Pengawasannya melibatkan banyak pihak khususnya masyarakat kampus, professional dan orang2 yang peduli pada masalah ini.
Di balik segala kontroversinya seharusnya semua kita termasuk gw seharusnya berkaca apakah yang dapat saya lakukan untuk memberdayakan masyarakat yang tidak semuanya seberuntung kita bisa menikmati kemajuan teknologi, menjadi 4% dari keseluruhan masyarakat Indonesia yang bisa menempuh pendidikan tinggi sampai S2 bahkan mungkin sebagian teman2 S3. Membangun masyarakat madani dengan kemandirian yang tinggi, inovatif, perpendidikan, kreatif.
Mungkin inilah teman2 tugas kita setelah selama ini kita menjadi orang yang beruntung bisa menikmati bangku kuliah dari Universitas sekelas UI dan lainnya, yang mungkin bagi sebagian teman2 kita di luar sana hanya berupa mimpi yang hanya akan terus jadi mimpi karena terkendala oleh segala keterbatasannya.
Thanks for inspiring me to:
- Mr Junino Jahja (Former Deputy of KPK, present CEO Perum PERURI),
- Mr. Edgar Ekaputra (CEO PT. Danareksa),
- Mr. Y. A. Didik Cahyanto (Former CEO PT. Recapital Asset Management, present CEO PT. Bumi Sumbawa Mas)
- Mr. Rahmadita Gayuh Dirgantoro (my classmate KP063-MM FEUI)
Yang dikutip dari tulisan Mr. Gayuh di Millis angkatan MM-FEUI 063:
"Dampak kompensasi ke karyawan ga akan bpengaruh secara signifikan, gaji ga mungkin turun, paling bonus & natura (kenikmatan non-kas) yg dikurangi. Dampak plng bsr sbnrnya di tingkat korporat/bisnis. Biaya produksi naik. Sementara harga jual ga bisa sembarang naik krn daya beli menurun. Kita udh kebal sama yg ky beginian, jangankan bbm naik, ada bom aja udh kebal.