Kamis, 22 Mei 2008

Perlambatan Ekonomi Global????

Krisis subprime morgage di US katanya siey mempengaruhi kondisi ekonomi secara global. Khususnya Indonesia. Tapi sadarkah kita bahwa ada suatu negara yang sangat resisten terhadap kondisi perlambatan ekonomi secara global???

Next, kita nyebutnya STAGNASI PEREKONOMIAN aja yah... Habisnya kalo perlambatan ekonomi itu bahasanya penuh dengan nada-nada politis!!! Stagnasi ekonomi tidak dialami oleh suatu negara kecil di Eropa. Asal tau aja, negara itu gak tergabung dalam European Union (Uni Eropa) atau masyarakat Ekonomi Eropa. Negara itu adalah SWISS!!! Taukah kita bahwa SWISS merupakan negara dengan GDP terbesar di Eropa. Dengan tingkat stabilitas ekonomi yang sangat tinggi. Dan satu hal yang menarik mereka masih tetap menggunakan Swiss Franc dalam seluruh transaksi perekonomiannya baik dalam maupun luar negeri.

Tingkat pengenaan pajak yang sangat tinggi di Swiss ternyata mampu benar2 membuat rakyatnya makmur dan sejahtera. Memang, rasanya gak apple to apple compare kalau sama Indonesia. Tapi rasanya pemerintah bisa mencontoh strategi pembangunan ekonominya.

Swiss sangat fokus. Hanya pada industri2 yang menurut mereka mempunyai daya saing atau bahasa kampusnya alias akademisi di strategic management tuh economic value added. Industri apa saja itu??? Pisau lipat (really...), mesin jam tangan (yang konon kabarnya no wahid di dunia), industri coklat, dan pariwisata. Pemerintah Swiss memberikan insentif kepada investor yang menanamkan modalnya di industri2 tersebut, misalnya tax deduction yang sangat tinggi, bahkan ada sebagian industri (sorry lupa industri yang mana) yang ternyata tax free, dan sekali lagi Tax holiday untuk investor yang nilai kapitalisasinya besar, dan menguasai hajat hidup orang banyak. Misalnya pembangkitan tenaga listrik, dsb...

Guess what... Setelah world war 2 ternyata Swiss mampu membangun industrinya dengan fokus. Pada industri2 di atas. Pariwisata Swiss misalnya... Pegunungan Alpen semua orang tau pasti ada di Swiss, padahal ada beberapa negara juga yang viewnya ke pegunungan Alpen gak kalah sama Swiss.

Pemerintahnya sukses untuk membangun economic value added nya. Nah, sekarang kita lihat apa yang dilakukan pemerintah Indonesia. Teralu banyak investasi asing yang move dari Indonesia. Let say Sony, dulu pabriknya ada di daerah Bekasi sana. Berapa banyak karena aturan yang gak jelas lagi2 rakyat yang harus di korbankan. Buruh2 pabrik itu harus kita tahu mereka pindah dan menjadi kaum urban di perkotaan karena keterbatasan infrastruktur di desa. Bayangkan saja masih di Pulau Jawa ada desa yang harus di tempuh dengan jalan kaki selama 8 jam dari kota Lumajang. Sebagian besar dari warga di desa itu adalah para buruh tani, sedangkan para pemudanya menjadi buruh2 di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Pemudinya sebagian besar menjadi pekerja rumah tangga di kota-kota besar, atau menjadi buruh2 pabrik. Yang tersisa di kota itu hanyalah para kaum tua dan anak-anak di bawah 12 tahun. Jarak yang harus di tempuh oleh anak2 di desa itu menuju sekolah terdekat sejauh 3,5km. Bayangkan 7 km pulang pergi (kalo gw siey langsung pengsan pastinya) harus jalan di jalanan berbecek kalo hujan, dan tandus dan berdebu kalo musim kemarau. Belum lagi mereka harus menyebrangi sungai... (mmmmh... gak nyangka masih ada beberapa anak yang mau terus melanjutkan sekolahnya). Please... Pemerintah... Bangun dunk sekolah sampai SMP aja sesuai dengan gerakan wajib belajar sampai SMP. Perbaiki 3 hal yang bisa menyelamatkan kita dari Stagnasi Perekonomian... Tiga hal itu adalah investasi dasar pada sumber daya manusia. Gizi masyarakat, Kesempatan Belajar, dan Akses terhadap Kesehatan.

Menurut gw, karena daya saing manusia Indonesia yang sangat rendah membuat kita tidak siap menghadapi yang terjadi. Khususnya mental. Perlambatan ekonomi terkait dengan ketidakresponan pemerintah untuk seluas2nya memberikan akses kepada para pengusaha kecil yang selama ini terbukti mampu menggerakkan perekonomian saat terjadinya krisis perekonomian. Yang penting sebenarnya akses terhadap modal. Kredit usaha kecil, kredit usaha rakyat, atau apapun namanya. Selama ini yang kita terus lihat adalah pemerintah terkesan hanya welcome terhadap investor asing. Padahal kita harus tau bahwa mereka dapat dengan mudahnya menarik investasinya di Indonesia untuk kemudian melakukan investasinya di negara lain yang mampu memberikan insentif lebih menarik bagi mereka dalam berinvestasi. Sedangkan para pengusaha lokal dan kecil... Tersingkir.... Sangat kontras dengan prinsip ekonomi kerakyatan kan!!!!

Balik lagi ke Stagnasi Perekonomian. Kita harus sadar kalo selama ini seringkali disebutkan bahwa capital in flight negara ini sangat besar... Asal kita tau... Semua itu hanya berupa hot money di Money and Capital Market!!! Suatu yang tragis!!! Uang yang beredar di capital market itu dapat dengan mudah pindah, dan gak ada restriksi pemerintah untuk itu. Selama IHSG menguat akan banyak capital in flight, atau ada signalling dari para emiten yang mampu memikat para investor. Setelah itu lenyaaaaap!!! Pindah ke Dow Jones, Straight times, atau apalah...

Stagnasi perekonomian yang terjadi selama ini adalah karena perekonomian dinilai dari angka yang tercantum pada indeks di capital market. Padahal itu adalah perekonomian ilusi... Yang dapat musnah sekejab... Ingat real uangnya kita gak tau ada dimana.

Stagnasi perekonomian yang dialami saat ini sebenarnya merupakan akumulasi dari ekonomi ilusi. Di US, krisis subprime morgage misalnya disebabkan oleh murahnya bunga untuk cicilan perumahan, dalam jangka waktu yang panjang. Orang2 di US merasa karena selama ini bunga cicilan perumahan dianggap sangat murah dengan jangka waktu yang sangat panjang pula. Karena selama ini mereka (kita juga siey) mengganggap bahwa rumah adalah bentuk investasi yang sangat prospektif. Akhirnya.... Terjadi kredit maceeeet dari subprime morgage yang menyeret dua bank kreditur subprime mortgage terbesar di US yaitu Citigroup, Meirill Lynch, dan Morgan Stanley. Yang ketiganya dikenal sebagai raksasa perbankan di US. Ternyata membuat keputusan yang salah dalam penyaluran subprime mortgage. Dengan sistem MBS (Mortgage back securities) semakin memperburuk keadaan. Bank2 kreditur ini tidak bisa melakukan penagihan kepada debiturnya. Jumlahnya sangat fantastis.... Keseluruhannya US $ 945 Milyar Boss!!! Untuk satu perusahaan seperti Citigroup jumlahnya sebesar US $ 9,8 milyar per kuartal terakhir tahun 2007. Gak heran kalo akhirnya Citigroup terpaksa melakukan PHK massal terhadap sejumlah 45 ribu orang dari 320 ribu karyawan Citigroup.

Fenomena ini juga membuat Standard and Poors (S&P) menurunkan grade perusahaan ini. Membuat tingkat resikonya juga bertambah dan menurunnya harga-harga saham raksasa perbankan ini menurun drastis. Karena penurunan ini maka terjadi fenomena hot money, termasuk di Indonesia. Penarikan dana besar2an masuk ke capital market yang selama ini dianggap masih menguntungkan termasuk diantaranya Indonesia...

Apa yang dapat kita lakukan??? Jangan pernah menggunakan kredit lebih dari yang mampu kita laksanakan. Misalnya fenomena yang terjadi saat ini adalah KTA atau Kredit tanpa Agunan... Ini sangat potensial dalam menyebabkan runtuhnya perekonomian suatu negara. KTA diberikan oleh Bank-Bank tanpa memikirkan prinsip 5 C dalam pemberian kredit yaitu Capacity, Collateral, Character, Capital dan Condition of Economy. Lihat.... 3 dari 5 kriteria di atas aja gak dipenuhi... tapi ternyata masih juga digelontorkan dananya. Kontras dengan 5 C dalam Credit Policy kan????!!!!

Menurut gw... Saat ini masyarakat harus diedukasi bahwa sebenarnya saat kita mengambil suatu kredit kita harus sadar, yakin, dan mampu untuk memenuhi kewajiban kita. Hal ini tidak saja hanya karena nanti akan dikejar-kerjar sama debt collector tapi lebih dari itu adalah kondisi cadangan devisa, dan kemampuan fiskal pemerintah pada akhirnya. Hal ini serupa dan hampir sama dengan kondisi yang dialami Indonesia pada saat krisis. Dimana para obligor pinjam dengan jumlah yang sangat besar, tidak sesuai dengan dana yang harusnya dibutuhkan (amount mismatch), pinjam untuk financing dalam jangka waktu panjang dengan menggunakan financing jangka pendek (timing mismatch), yang terakhir adalah pinjam dalam US $ yang sangat volatile (currency mismatch).

Apakah kita akan membiarkan ini terjadi yang kedua kalinya di Indonesia??? Rasanya sangat tidak arif bila kita pada akhirnya membiarkan anak cucu kita yang harus melunasi hutang2 kita. Membiarkan mereka mewarisi jiwa sebagai debitur. Dengan memberikan "Kebebasan Finansial" atas penggunaan kartu kredit yang tidak terkendali???

Sudah saatnya bagi kita untuk melakukan perbaikan. Bukan hanya berharap bahwa pemerintah membuat aturan (karena konon katanya siey biayanya teralu mahal, apalagi para anggota parlemen kan suka ngaret kalo bikin undang2... u know lha!!!), mulailah pada diri sendiri berkaca dan berkaca sebelum membuat bencana yang lebih besar bagi negara ini lewat tagihan kartu kredit dan KTA kita... ;)

Tidak ada komentar: